Rabu, 12 Februari 2014

Asal Bacot: Kasus Corby sampai Hukum di Indonesia

Di sini nampak bahwa hukum, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan, tidak selalu adil.

Kadangkala faktor nasib atau keberuntungan pun ada pengaruhnya. Mungkin saja Corby memang benar-benar tidak tahu bagaimana bisa ada mariyuana di dalam tasnya, tapi, ia dan kuasa hukumnya pada akhirnya tidak dapat membuktikan bahwa mariyuana itu benar-benar bukan miliknya.

Bahkan disebutkan juga di artikel yang pernah saya baca, Corby menuntut untuk dilakukan pemeriksaan sidik jari pada narkoba itu kepada Polda Bali, tetapi tidak pernah dilakukan. Padahal, sudah jelas pemeriksaan DNA melalui sidik jari merupakan cara paling efektif, bahkan dalam kasus apapun, untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang.

Jika hal itu memang benar, maka benarlah jika penegakan hukum di Indonesia ini memang cacat. Cacat abis. Tentu mencurigakan apabila pihak penyidik tidak berkenan untuk melakukan pemeriksaan DNA dalam kasus tersebut. Tugas penyidik itu membuktikan, tapi dia tidak mau membuktikan? Apa yang terjadi di sini? 


Takut keburu tengsin apa ya... Orang udah ketangkep, tapi ada bukti baru, lepas lagi deh. Batal dong, jadi 'pahlawan'.

Menarik juga untuk didiskusikan dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi pembuktian tindak pidana dengan DNA di Indonesia.

Banyak juga yang bilang.. Kalaupun toh, Corby benar memiliki mariyuana itu. Mariyuana itu nggak bahaya sebenarnya. Maksudnya nggak sebahanya alkohol, heroin, nggak bikin OD lah pokoknya. Makanya hukuman buat Corby itu lebay. Katanya gitu.

Dipikir-pikir dengan logika nih ya. Kalaupun Corby memang berniat menyelundupkan narkoba, kenapa dia sebodoh itu, menaruh mariyuana di dalam tas selancarnya? Bodo banget. Kemudian ketika ditanya oleh penegak hukum di sini, dia bersikeras itu bukan punya dia. Ngapain gitu lho? Buat apa? Main-main sama penegak hukum, buang-buang waktu, pakai beberapa gram mariyuana doang. Like, seriously? Is she even that stupid?

Kalo tentang itu sih, mungkin, hukum Indonesianya sendiri yang belum siap untuk menerima adanya berbagai zat adiktif ini. Sehingga, digeneralisasi bahwa semua zat adiktif berbahaya di tingkat yang sama dan membahayakan masyarakat di tingkat yang sama pula. Lagi-lagi, ilmu pengetahuan perlu dikembangkan lebih lanjut untuk kepentingan spesifikasi dan pemberian tingkatan pada berbagai zat yang dianggap narkoba ini, sehingga jelas mana narkoba yang benar bahaya banget dan pantas dihukum berat dan mana yang nggak terlalu berat. Kasus Raffi Ahmad sendiri, belum begitu jelas kan narkobanya.

Terus, gimana sama sikap Presiden SBY yang memberikan grasi buat Corby? Banyak yang bilang itu untuk pencitraan doang. Biar kesannya jadi pembela HAM gitu. Tapi, masa’ seorang pemimpin negara lebih memilih melindungi HAM orang asing pengedar narkoba daripada melindungi warga negaranya? Gitu sih katanya.

Jadi gimana dong? Kalau menurut saya sih, semuanya kembali kepada bukti. Bukti yang sebenar-benarnya, hingga memenuhi kebenaran materiil, atau setidaknya mendekati. Bagaimana agar di Indonesia, sistem pembuktian bisa diterapkan sebaik-baiknya, kerja penyidik, yang bertugas menemukan bukti pun – penuntut juga sih, diperbaiki kualitasnya. Di sini ketajaman ‘firasat’ penyidik juga tidak boleh diabaikan dan harus banyak dilatih, karena kadangkala ‘firasat’ atau gut inilah yang menuntun mereka ke bukti yang sebenarnya.

Gak tahu lagi ya... Kalau di balik semua ini, ada hal lain yang menjadi latar belakang - misalnya adanya 'kesepakatan' lain antara pemerintah Indonesia dan Australia  sehinggga kasus Corby ini 'digunakan' untuk mengalihkan fokus masyarakat. *inget kasusnya Adrian Kiki Ariawan
Lain cerita deh.

Ujung-ujungnya.. Ngomongin sistem deh. Kalau sudah membicarakan sistem, sistem kan mencakup semuanya, jadi.. Kalau merubah sistem, ya semuanya diganti. Peraturannya, orang-orangnya (kualitas penegak hukumnya maksudnya), dan semuanya deh.. Kalo mau ngerubah sistem, ya semuanya dirubah.

Hal ini membuat saya teringat akan kasus-kasus lain di Indonesia yang tidak ‘tepat sasaran’, seperti kasus nenek yang mencuri coklat, harus membayarnya dengan kemerdekaan hidup selama 5 tahun. Kemudian bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang rakyat dan bla.. bla.. bla.. ya kita semua sudah tahu tentang itu.

Belum lagi, pasca penghukuman. Apakah LP sendiri, yang ditujukan sebagai tempat untuk ‘mencuci bersih’ para terpidana, agar kembali ke masyarakat menjadi sosok baru yang tidak membahayakan, adalah tempat yang ‘bersih’? Bagaimana dengan praktik-praktik kotor yang terjadi di penjara? Penyogokan para petugas, bahkan sipirnya, kemudian berbagai penyelundupan. Apakah para pengedar narkoba kelas kakap semata-mata berhenti sama sekali melakukan kejahatannya ketika ia berada di dalam LP? Wow, I don’t think so. Jaringan narkoba itu tetap berjalan dengan smooth, sementara the boss, or whoever they call ‘em, mengontrol semuanya dari balik jeruji. Bagaimana? Tentu dengan bantuan petugas LP juga, ia bisa melakukan semua itu. Begitu juga dengan praktik kejahatan-kejahatan lainnya, terutama yang berkaitan dengan sindikat atau jaringan. Belum lagi pemberian gratifikasi kepada petugas LP untuk berbagai kenyamanan yang bisa didapat di penjara.

Ngomong-ngomong hukuman untuk koruptor.. Hmm.
Koruptor dipenjara. 4 tahun, 7 tahun, 12 tahun. Abis itu, keluar dari penjara, duitnya masih banyak. Masih cukup buat 7 turunan. Belum lagi kalo dipake buat nyogok hakim, atau kepala LP, biar hukumannya diringankan atau dapat berbagai ‘fasilitas’ di penjara.  

Hukuman, seharusnya membuat seseorang jera, sehingga ia tidak mau melakukan kejahatannya lagi. Tapi apakah penjara berhasil membuat koruptor merasa demikian? Well...

Koruptor itu sampah. Apa yang kita lakukan dengan sampah? Sampah itu dibuang, supaya gak bikin kotor. Atau, didaur ulang, biar gak jadi sampah lagi.

Tapi, mungkinkah koruptor setelah hanya dikurung selama 4 tahun kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat akan trauma dan bersumpah tidak melakukan kejahatannya lagi? Hmm. I don’t really think so.

Jadi, koruptor itu ya harusnya dibuang. Dibuang ke tempatnya, gak usah pake balik lagi ke masyarakat. Asik juga, kalau ngebayangin koruptor disuruh bersih-bersih jalan raya sambil pake baju yang mencolok banget warnanya, plus semacam name tag yang tulisannya ‘Halo. Nama saya Prof. Dr. Bambang Begindang, SH, MS, LLM, Ph.D. Tapi sekarang panggil saya Bambang Koruptor aja’
Eh, kepanjangan ya, ntar gak cukup name tagnya. Ya udah mungkin gini aja ‘Nama saya Bambang Begindang dan saya korupsi duit anda 2 Triliun’.
Terus, semua harta hasil korupsinya dirampas negara, semuanya. Keluarganya? Jadi tanggung jawab negara juga dong.

Atau.. semuanya dihukum seumur hidup atau dihukum mati aja sekalian. Kan sampah? Sampah harus dibuang jauh-jauh, gak boleh dibalikin lagi, biar gak bikin kotor lagi.

Tapi.. lagi-lagi orang-orang dengan mengatasnamakan HAM menentang pemiskinan dan hukuman mati. Lucu juga ya. Orang yang sudah terbukti korup, masih sempet-sempetnya aja HAMnya dibela. Kayaknya HAM ini juga perlu dipikir-pikir lagi esensinya. Abis orang gampang banget sih membela kepentingannya sendiri dengan mengatasnamakan HAM. Dikit-dikit HAM. HAMp*t, hehehe. (orang Jawa pasti ngerti)

*ups

Sedih, jika kita melihat praktik penegakan hukum di negara kita tidak melindungi mereka yang menjadi korban, namun justru melindungi penjahatnya. The law, protects the culprit, instead of the victim.


Gimana kalo menurut kalian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar