Selasa, 31 Desember 2013

Tahun Baru: Menyikapi Sebuah Momentum

Tepat ketika saya mulai menulis, waktu menunjukkan pukul 23:06 WIB. Yang artinya, kurang dari satu jam lagi, secara resmi tahun 2013 berakhir dan tahun 2014 dimulai.

Berbicara mengenai tahun baru, dapat dilihat begitu bervariasinya tindakan, kegiatan, dan perilaku masyarakat dalam menyikapi momen ini. Ada yang memanfaatkan tahun baru untuk berpesta pora bersama kawan dan kerabat, menggelar barbeque, meniup terompet, dan lain-lain. Ada yang menjadikan momen pergantian tahun ini sebagai titik tolak untuk perubahan, menjadi sosok manusia yang baru, untuk pencapaian-pencapaian yang baru, sarana untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Bahkan ada yang membuat resolusi-resolusi tahun baru mereka secara tertulis – baik itu dipublikasikan atau tidak.  Ada juga yang hanya ikut-ikutan saja dalam perayaan tahun baru ini – asal kumpul, asal eksis.

Di berbagai tempat pun bergemuruh semarak pergantian tahun ini. Berbagai stasiun televisi menayangkan konser-konser atau program spesial lainnya untuk sebagai bentuk perayaan tahun baru. Di jalan-jalan dapat ditemukan kerumunan-kerumunan manusia dengan berbagai aktivitas, bahkan lalu lintas yang macet pun sudah menjadi pemandangan biasa setiap tahun. Suara ledakan kembang api di mana-mana. Festive mood ini menjamur di seluruh penjuru dunia.

Namun ada juga sebagian yang secara gamblang menyatakan sikap penolakan terhadap perayaan tahun baru, bahkan mengharamkannya – berbagai propaganda pun mereka lakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa perayaan tahun baru masehi adalah sesat, salah. Propaganda ini mereka lakukan dengan berbagai cara – berbagai artikel di media online dapat ditemukan, bahkan spanduk di jalan-jalan.

Saya sendiri, kali ini sedang not in the party mood. Mengapa saya bilang kali ini, karena biasanya di tahun-tahun sebelumnya saya selalu keluar dan ikut seru-seruan dalam perayaan tahun baru, entah dengan teman-teman atau sanak saudara. Entah membuat barbeque, menonton film bersama, turut membisingkan kota dengan suara terompet, ataupun hanya kumpul-kumpul saja dan berbagi cerita serta gurauan. Kadang momen ini juga saya manfaatkan bersama teman-teman lama untuk melepas rindu – mengingat banyak dari kami sekarang yang menuntut ilmu di luar kampung halaman.

Untuk tahun baru kali ini saya sungguh-sungguh tidak berminat keluar rumah. Entah mengapa, bisa jadi karena jenuh, karena perayaan tahun baru yang begitu-begitu saja.

Mengenai resolusi, saya tidak mencoba untuk menetapkan secara konkret mengenai apa-apa yang harus saya lakukan atau saya capai di tahun 2014, atau sebaliknya, merenungkan apa saja yang sudah saya lalui di 2013. Karena sesungguhnya bagi saya, refleksi semacam ini, tidak hanya bisa dilakukan saat pergantian tahun. Setiap hari pun bisa dilakukan, bahkan sebenarnya lebih baik jika kita bisa live day by day. Untuk berkumpul, bersenang-senang, dan berpesta pun, juga bisa dilakukan kapan saja.

Saya pribadi lebih melihat tahun baru ini sebagai sebuah momentum. Yap, hanya sekedar sebuah momentum. Momentum yang menunjukkan bahwa, supaya sesuatu yang baru bisa datang, sesuatu yang lama harus pergi. Simpel. Momentum yang menunjukkan bahwa, the time does not give any break. It always goes by.
Tentu, paling tidak, saya ingin menjadi orang yang lebih baik di tahun berikutnya,  dan seterusnya di tahun berikutnya lagi. Lebih baik di segala sisi. Yang jelas, semoga dengan bergantinya tahun, semakin dewasa usia saya, hidup saya menjadi lebih bermanfaat dan bermakna, bagi orang lain dan bagi saya sendiri. Dan tentu, sebagai mahasiswa dan Insya Allah penulis yang lebih baik.

Silakan memanfaatkan momen tahun baru ini sesuai selera anda. Mau berpesta pora, mau bersantai di tempat tinggal, mau melepas rindu dengan keluarga, atau pun tidak merayakannya sama sekali. Semoga momentum ini bisa mengantarkan kita semua menuju yang dicita-citakan, dan menuju hidup yang lebih bahagia dan berarti. Setidaknya bahagia saja. Harta, gelar, kedudukan, dan popularitas, sungguh jauh lebih mudah ditemukan daripada kebahagiaan yang sejati.

Salam.

Malang, 31 Desember 2013




Sabtu, 14 Desember 2013

Me, As A Campus Journalist (Menjadi Jurnalis Kampus)

Di dunia kuliah ini banyak sekali pilihan. Pilihan untuk menjadi mahasiswa seperti apa. Untuk masuk di golongan yang mana. Proses pencarian jati diri di kampus sangatlah mengena.

Kebetulan, entah bagaimana, saya sendiri nyasar di dunia jurnalisme kampus. Ya, saya menjadi anggota unit kegiatan pers kampus mahasiswa, yang di kampus saya bernama Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa, yang punya panggilan sayang 'Kavling 10'. Produk medianya yaitu majalah, manuskrip tembok, dan media online kavling10.com.

Oke, demikian sedikit perkenalan saya tentang lembaga pers kampus kece ini~
Saya sekarang akan lebih banyak menceritakan apa yang saya dapatkan setelah bergabung di dunia jurnalisme kampus.

Dunia jurnalisme kampus memang berbeda dari jurnalisme yang sebenarnya, yang mengharuskan orang-orang di dalamnya untuk sepenuhnya memberikan dedikasi, bahkan nyawanya, untuk bertaruh di bidang kerja ini, yang sejatinya memiliki tujuan mulia, yaitu menyampaikan kebenaran. Di jurnalisme kampus, yang mana anggota-anggotanya adalah mahasiswa, tidak bisa disamakan dengan jurnalisme yang nyata. Mahasiswa di sini memiliki tugas utama, yaitu menuntut ilmu, sesuai jurusan masing-masing. Bisa dibilang bahwa mahasiswa yang mengikuti kegiatan jurnalistik, kegiatan ini (seharusnya) hanya 'sampingan', di samping kegiatan kuliah. Maka, kami haruslah pandai-pandai mengatur dan membagi-bagi waktu serta prioritas. Ditambah lagi jika kami juga masih mengikuti organisasi ataupun punya kesibukan di kegiatan lain.

Bagi saya, hal ini menjadi tantangan. Selain tertantang untuk lebih pandai mengatur prioritas dan membagi waktu, saya juga tertantang untuk selalu keluar dari zona nyaman.

Sebelum menjadi jurnalis kampus, saya adalah orang yang pemalu dan seringkali tidak percaya diri, punya banyak keraguan untuk melakukan sesuatu. Bahkan bertanya saja kadang tidak berani. Setelah terjun ke dunia jurnalisme kampus, yang mana pekerjaannya adalah untuk bertanya dan bertanya, tentu mau tidak mau saya harus memaksa diri saya untuk berani menemui narasumber, dan memberikan sebanyak mungkin pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Ya, itu intinya. Dunia jurnalisme kampus menantang diri saya untuk menjadi lebih berani menghadapi orang lain, baik sesama mahasiswa sampai pejabat tinggi di kampus, bahkan ketika saya bekerja sendirian. Memaksa saya untuk lebih kritis dan peka menyikapi berbagai situasi. Lebih berani menghadapi situasi di kampus yang krusial dan 'berbahaya'. Selain itu juga melatih saya untuk lebih disiplin, berkenaan dengan deadline-deadline yang senantiasa kami hadapi, dan kesiapan kami untuk bergerak cepat ketika ada situasi yang memiliki nilai informasi tinggi dan harus segera disampaikan pada publik.

Selain mengenai perbaikan karakter tersebut, dunia jurnalistik menyatu dengan sesuatu yang sangat saya sukai dan senantiasa terus saya latih: menulis.

Kebetulan di lembaga pers kampus (LPM) yang saya ikuti, saya ditempatkan di redaksi online. Media online ini berisi berbagai berita terupdate tentang kampus kami, Universitas Brawijaya. Ada juga berita seputar kota Malang. Yah, mirip-mirip lah dengan detikcom, republika.com, dkk, hehe. Jadi isinya artikel-artikel berita, ada juga opini, resensi, dan galeri foto.

Kalau penasaran bisa buka di sini deh (sebenernya gak bermaksud ngiklan) :

kavling10.com

Ok, back to topic.
Karena itulah, dengan bergabung di LPM, skill menulis saya menjadi sangat sangat terlatih. Menulis-lah yang menjadi inti dari semua kegiatan yang kami lakukan. Kami dilatih, diharuskan, bahkan dipaksa untuk selalu menulis. Tapi bagi saya, itu paksaan yang menyenangkan. Walau kadang saya mengalami hal-hal seperti bad mood, suntuk, atau malas, dll, ketika harus menulis, tapi tetap ujung-ujungnya saya selalu senang dan bangga setiap tulisan saya selesai. Selain itu, wawasan saya mengenai ejaan dan kebahasaan menjadi jauh bertambah, dengan banyaknya nasihat dan perbaikan dari editor-editor kami. Dengan bergabung di LPM, saya menjadi semakin cinta menulis, semakin ingin menulis, semakin harus menulis. Ilmu-ilmu tentang ejaan dan kebahasaan yang saya dapatkan di LPM, seringkali juga saya terapkan di tugas-tugas kuliah saya, seperti ketika membuat makalah. Saya menjadi lebih kritis dalam menulis makalah -- dalam masalah ejaan, efisiensi kalimat, diksi, dll. Ilmu-ilmu tersebut sangat bermanfaat.

Satu lagi, keuntungan yang saya dapatkan dengan bergabung di LPM: wawasan.

Selain liputan dan menulis, kami sering mengadakan berbagai diskusi, baik formal maupun informal, serius maupun santai. Diskusi penting bagi kami, karena dengan berdiskusi, kami membahas dan mendapatkan wacana. Tugas jurnalis adalah untuk mengeksekusi sebuah wacana. Diskusi memberikan kami wawasan, informasi, ilmu, serta bahan riset untuk membekali liputan-liputan kami. Tentu kami tidak akan bisa liputan dengan otak kosong.

Jujur saja, saya orangnya tidak begitu hobi membaca. Saya juga tidak begitu antusias dalam membahas mengenai sejarah. Saya tidak begitu memahami tokoh-tokoh nasional, idealisme-idealisme mereka, dan kisah-kisah di negeri ini atau pun dunia ini yang tidak banyak terekspos, bahkan sejarah yang tak pernah saya temukan sama sekali di buku-buku sekolah. Namun, semuanya berubah ketika saya bergabung dengan LPM. Melihat rekan-rekan saya di sini begitu kaya akan wawasan semacam itu, begitu antusiasnya mereka membahas tentang literatur-literatur, dan lain-lain, membuat saya sedikit minder. Saya mulai sadar betapa miskinnya saya akan wawasan dan kewacanaan, yang sebenarnya memang penting bagi saya dan setiap mahasiswa, yang -katanya- kaum intelektual. Saya mulai mencari-cari, mengorek informasi, mencoba membaca buku -bahkan genre buku yang belum pernah saya baca di saat santai- dan lebih update mengikuti berita-berita baik di media elektronik maupun cetak, juga membuat saya lebih melek lagi kepada politik dan tikus-tikusnya.

LPM dan rekan-rekan saya di sini membuat saya sadar bahwa kuliah dan dunia mahasiswa itu, seperti kata Soe Hok Gie, terdiri dari 3 hal: buku, pesta, dan cinta. 3 hal ini haruslah seimbang, walaupun susah ya, hehe. Tapi sungguh, harus seimbang. Dan LPM sangat membantu saya untuk menambah porsi di 'buku' :)

Terus, siapa bilang, kalau di LPM kita gak bisa belajar berorganisasi? Kita gak bisa dapet pengalaman kepanitiaan?
Jangan salah, tentu saja di LPM kita sangat sangat berhubungan dengan keorganisasian dan justru pengetahuan kami harus dalam tentang hierarki-hierarkinya-- terutama tentang susunan keredaksian dan kewenangannya masing-masing. LPM tentu juga harus punya elemen organisasi di luar keredaksian yang mengatur banyak hal lain tentang berjalannya dan kelangsungan hidup dari LPM itu sendiri.
Untuk pengalaman kepanitiaan, tentu selain liputan kami juga sering mengadakan event-event lain yang seru dan bermanfaat, yang tentu gak jauh-jauh dari dunia jurnalistik. Cuma memang, porsinya beda dari organisasi lain yang orientasinya mengarah ke sana :)

Sekarang tentang masa depan saya-- apakah dengan begini lantas saya akan menjadi seorang jurnalis?
Jawabannya...
Belum tahu.
Sampai saat ini, menjadi jurnalis bukan cita-cita saya. Kembali kepada disiplin ilmu yang saya pelajari sekarang: hukum. Tentu saya ingin menjadi praktisi hukum, walau belum jelas mau jadi apa.. Tapi yang jelas tidak mau jauh-jauh dari sana.

Yang jelas, saya senang menjadi jurnalis kampus, saya bangga menjadi jurnalis kampus. Mungkin banyak yang memandang sebelah mata pilihan ini, mungkin banyak yang memilih 'profesi' yang dianggap lebih penting dan bergengsi di kampus daripada ini. Tapi justru itu yang membuat saya senang.

Jadi jurnalis kampus itu... Anti-mainstream banget men!!

Hehehe.


Itu yang saya dapatkan dan bisa saya bagi setelah saya bergabung dengan LPM dan menjadi jurnalis kampus. Semoga bermanfaat dan sedikit bisa membuka mata teman-teman mengenai apa itu jurnalisme kampus dan apa yang kami kerjakan di sini :)


“You have to be uncomfortable in order to be successful, in some ways. If you stay in your comfort zone! You would never do the things that you need to do.” ― Lights Poxlietner