Selasa, 31 Desember 2013

Tahun Baru: Menyikapi Sebuah Momentum

Tepat ketika saya mulai menulis, waktu menunjukkan pukul 23:06 WIB. Yang artinya, kurang dari satu jam lagi, secara resmi tahun 2013 berakhir dan tahun 2014 dimulai.

Berbicara mengenai tahun baru, dapat dilihat begitu bervariasinya tindakan, kegiatan, dan perilaku masyarakat dalam menyikapi momen ini. Ada yang memanfaatkan tahun baru untuk berpesta pora bersama kawan dan kerabat, menggelar barbeque, meniup terompet, dan lain-lain. Ada yang menjadikan momen pergantian tahun ini sebagai titik tolak untuk perubahan, menjadi sosok manusia yang baru, untuk pencapaian-pencapaian yang baru, sarana untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Bahkan ada yang membuat resolusi-resolusi tahun baru mereka secara tertulis – baik itu dipublikasikan atau tidak.  Ada juga yang hanya ikut-ikutan saja dalam perayaan tahun baru ini – asal kumpul, asal eksis.

Di berbagai tempat pun bergemuruh semarak pergantian tahun ini. Berbagai stasiun televisi menayangkan konser-konser atau program spesial lainnya untuk sebagai bentuk perayaan tahun baru. Di jalan-jalan dapat ditemukan kerumunan-kerumunan manusia dengan berbagai aktivitas, bahkan lalu lintas yang macet pun sudah menjadi pemandangan biasa setiap tahun. Suara ledakan kembang api di mana-mana. Festive mood ini menjamur di seluruh penjuru dunia.

Namun ada juga sebagian yang secara gamblang menyatakan sikap penolakan terhadap perayaan tahun baru, bahkan mengharamkannya – berbagai propaganda pun mereka lakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa perayaan tahun baru masehi adalah sesat, salah. Propaganda ini mereka lakukan dengan berbagai cara – berbagai artikel di media online dapat ditemukan, bahkan spanduk di jalan-jalan.

Saya sendiri, kali ini sedang not in the party mood. Mengapa saya bilang kali ini, karena biasanya di tahun-tahun sebelumnya saya selalu keluar dan ikut seru-seruan dalam perayaan tahun baru, entah dengan teman-teman atau sanak saudara. Entah membuat barbeque, menonton film bersama, turut membisingkan kota dengan suara terompet, ataupun hanya kumpul-kumpul saja dan berbagi cerita serta gurauan. Kadang momen ini juga saya manfaatkan bersama teman-teman lama untuk melepas rindu – mengingat banyak dari kami sekarang yang menuntut ilmu di luar kampung halaman.

Untuk tahun baru kali ini saya sungguh-sungguh tidak berminat keluar rumah. Entah mengapa, bisa jadi karena jenuh, karena perayaan tahun baru yang begitu-begitu saja.

Mengenai resolusi, saya tidak mencoba untuk menetapkan secara konkret mengenai apa-apa yang harus saya lakukan atau saya capai di tahun 2014, atau sebaliknya, merenungkan apa saja yang sudah saya lalui di 2013. Karena sesungguhnya bagi saya, refleksi semacam ini, tidak hanya bisa dilakukan saat pergantian tahun. Setiap hari pun bisa dilakukan, bahkan sebenarnya lebih baik jika kita bisa live day by day. Untuk berkumpul, bersenang-senang, dan berpesta pun, juga bisa dilakukan kapan saja.

Saya pribadi lebih melihat tahun baru ini sebagai sebuah momentum. Yap, hanya sekedar sebuah momentum. Momentum yang menunjukkan bahwa, supaya sesuatu yang baru bisa datang, sesuatu yang lama harus pergi. Simpel. Momentum yang menunjukkan bahwa, the time does not give any break. It always goes by.
Tentu, paling tidak, saya ingin menjadi orang yang lebih baik di tahun berikutnya,  dan seterusnya di tahun berikutnya lagi. Lebih baik di segala sisi. Yang jelas, semoga dengan bergantinya tahun, semakin dewasa usia saya, hidup saya menjadi lebih bermanfaat dan bermakna, bagi orang lain dan bagi saya sendiri. Dan tentu, sebagai mahasiswa dan Insya Allah penulis yang lebih baik.

Silakan memanfaatkan momen tahun baru ini sesuai selera anda. Mau berpesta pora, mau bersantai di tempat tinggal, mau melepas rindu dengan keluarga, atau pun tidak merayakannya sama sekali. Semoga momentum ini bisa mengantarkan kita semua menuju yang dicita-citakan, dan menuju hidup yang lebih bahagia dan berarti. Setidaknya bahagia saja. Harta, gelar, kedudukan, dan popularitas, sungguh jauh lebih mudah ditemukan daripada kebahagiaan yang sejati.

Salam.

Malang, 31 Desember 2013




Sabtu, 14 Desember 2013

Me, As A Campus Journalist (Menjadi Jurnalis Kampus)

Di dunia kuliah ini banyak sekali pilihan. Pilihan untuk menjadi mahasiswa seperti apa. Untuk masuk di golongan yang mana. Proses pencarian jati diri di kampus sangatlah mengena.

Kebetulan, entah bagaimana, saya sendiri nyasar di dunia jurnalisme kampus. Ya, saya menjadi anggota unit kegiatan pers kampus mahasiswa, yang di kampus saya bernama Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa, yang punya panggilan sayang 'Kavling 10'. Produk medianya yaitu majalah, manuskrip tembok, dan media online kavling10.com.

Oke, demikian sedikit perkenalan saya tentang lembaga pers kampus kece ini~
Saya sekarang akan lebih banyak menceritakan apa yang saya dapatkan setelah bergabung di dunia jurnalisme kampus.

Dunia jurnalisme kampus memang berbeda dari jurnalisme yang sebenarnya, yang mengharuskan orang-orang di dalamnya untuk sepenuhnya memberikan dedikasi, bahkan nyawanya, untuk bertaruh di bidang kerja ini, yang sejatinya memiliki tujuan mulia, yaitu menyampaikan kebenaran. Di jurnalisme kampus, yang mana anggota-anggotanya adalah mahasiswa, tidak bisa disamakan dengan jurnalisme yang nyata. Mahasiswa di sini memiliki tugas utama, yaitu menuntut ilmu, sesuai jurusan masing-masing. Bisa dibilang bahwa mahasiswa yang mengikuti kegiatan jurnalistik, kegiatan ini (seharusnya) hanya 'sampingan', di samping kegiatan kuliah. Maka, kami haruslah pandai-pandai mengatur dan membagi-bagi waktu serta prioritas. Ditambah lagi jika kami juga masih mengikuti organisasi ataupun punya kesibukan di kegiatan lain.

Bagi saya, hal ini menjadi tantangan. Selain tertantang untuk lebih pandai mengatur prioritas dan membagi waktu, saya juga tertantang untuk selalu keluar dari zona nyaman.

Sebelum menjadi jurnalis kampus, saya adalah orang yang pemalu dan seringkali tidak percaya diri, punya banyak keraguan untuk melakukan sesuatu. Bahkan bertanya saja kadang tidak berani. Setelah terjun ke dunia jurnalisme kampus, yang mana pekerjaannya adalah untuk bertanya dan bertanya, tentu mau tidak mau saya harus memaksa diri saya untuk berani menemui narasumber, dan memberikan sebanyak mungkin pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Ya, itu intinya. Dunia jurnalisme kampus menantang diri saya untuk menjadi lebih berani menghadapi orang lain, baik sesama mahasiswa sampai pejabat tinggi di kampus, bahkan ketika saya bekerja sendirian. Memaksa saya untuk lebih kritis dan peka menyikapi berbagai situasi. Lebih berani menghadapi situasi di kampus yang krusial dan 'berbahaya'. Selain itu juga melatih saya untuk lebih disiplin, berkenaan dengan deadline-deadline yang senantiasa kami hadapi, dan kesiapan kami untuk bergerak cepat ketika ada situasi yang memiliki nilai informasi tinggi dan harus segera disampaikan pada publik.

Selain mengenai perbaikan karakter tersebut, dunia jurnalistik menyatu dengan sesuatu yang sangat saya sukai dan senantiasa terus saya latih: menulis.

Kebetulan di lembaga pers kampus (LPM) yang saya ikuti, saya ditempatkan di redaksi online. Media online ini berisi berbagai berita terupdate tentang kampus kami, Universitas Brawijaya. Ada juga berita seputar kota Malang. Yah, mirip-mirip lah dengan detikcom, republika.com, dkk, hehe. Jadi isinya artikel-artikel berita, ada juga opini, resensi, dan galeri foto.

Kalau penasaran bisa buka di sini deh (sebenernya gak bermaksud ngiklan) :

kavling10.com

Ok, back to topic.
Karena itulah, dengan bergabung di LPM, skill menulis saya menjadi sangat sangat terlatih. Menulis-lah yang menjadi inti dari semua kegiatan yang kami lakukan. Kami dilatih, diharuskan, bahkan dipaksa untuk selalu menulis. Tapi bagi saya, itu paksaan yang menyenangkan. Walau kadang saya mengalami hal-hal seperti bad mood, suntuk, atau malas, dll, ketika harus menulis, tapi tetap ujung-ujungnya saya selalu senang dan bangga setiap tulisan saya selesai. Selain itu, wawasan saya mengenai ejaan dan kebahasaan menjadi jauh bertambah, dengan banyaknya nasihat dan perbaikan dari editor-editor kami. Dengan bergabung di LPM, saya menjadi semakin cinta menulis, semakin ingin menulis, semakin harus menulis. Ilmu-ilmu tentang ejaan dan kebahasaan yang saya dapatkan di LPM, seringkali juga saya terapkan di tugas-tugas kuliah saya, seperti ketika membuat makalah. Saya menjadi lebih kritis dalam menulis makalah -- dalam masalah ejaan, efisiensi kalimat, diksi, dll. Ilmu-ilmu tersebut sangat bermanfaat.

Satu lagi, keuntungan yang saya dapatkan dengan bergabung di LPM: wawasan.

Selain liputan dan menulis, kami sering mengadakan berbagai diskusi, baik formal maupun informal, serius maupun santai. Diskusi penting bagi kami, karena dengan berdiskusi, kami membahas dan mendapatkan wacana. Tugas jurnalis adalah untuk mengeksekusi sebuah wacana. Diskusi memberikan kami wawasan, informasi, ilmu, serta bahan riset untuk membekali liputan-liputan kami. Tentu kami tidak akan bisa liputan dengan otak kosong.

Jujur saja, saya orangnya tidak begitu hobi membaca. Saya juga tidak begitu antusias dalam membahas mengenai sejarah. Saya tidak begitu memahami tokoh-tokoh nasional, idealisme-idealisme mereka, dan kisah-kisah di negeri ini atau pun dunia ini yang tidak banyak terekspos, bahkan sejarah yang tak pernah saya temukan sama sekali di buku-buku sekolah. Namun, semuanya berubah ketika saya bergabung dengan LPM. Melihat rekan-rekan saya di sini begitu kaya akan wawasan semacam itu, begitu antusiasnya mereka membahas tentang literatur-literatur, dan lain-lain, membuat saya sedikit minder. Saya mulai sadar betapa miskinnya saya akan wawasan dan kewacanaan, yang sebenarnya memang penting bagi saya dan setiap mahasiswa, yang -katanya- kaum intelektual. Saya mulai mencari-cari, mengorek informasi, mencoba membaca buku -bahkan genre buku yang belum pernah saya baca di saat santai- dan lebih update mengikuti berita-berita baik di media elektronik maupun cetak, juga membuat saya lebih melek lagi kepada politik dan tikus-tikusnya.

LPM dan rekan-rekan saya di sini membuat saya sadar bahwa kuliah dan dunia mahasiswa itu, seperti kata Soe Hok Gie, terdiri dari 3 hal: buku, pesta, dan cinta. 3 hal ini haruslah seimbang, walaupun susah ya, hehe. Tapi sungguh, harus seimbang. Dan LPM sangat membantu saya untuk menambah porsi di 'buku' :)

Terus, siapa bilang, kalau di LPM kita gak bisa belajar berorganisasi? Kita gak bisa dapet pengalaman kepanitiaan?
Jangan salah, tentu saja di LPM kita sangat sangat berhubungan dengan keorganisasian dan justru pengetahuan kami harus dalam tentang hierarki-hierarkinya-- terutama tentang susunan keredaksian dan kewenangannya masing-masing. LPM tentu juga harus punya elemen organisasi di luar keredaksian yang mengatur banyak hal lain tentang berjalannya dan kelangsungan hidup dari LPM itu sendiri.
Untuk pengalaman kepanitiaan, tentu selain liputan kami juga sering mengadakan event-event lain yang seru dan bermanfaat, yang tentu gak jauh-jauh dari dunia jurnalistik. Cuma memang, porsinya beda dari organisasi lain yang orientasinya mengarah ke sana :)

Sekarang tentang masa depan saya-- apakah dengan begini lantas saya akan menjadi seorang jurnalis?
Jawabannya...
Belum tahu.
Sampai saat ini, menjadi jurnalis bukan cita-cita saya. Kembali kepada disiplin ilmu yang saya pelajari sekarang: hukum. Tentu saya ingin menjadi praktisi hukum, walau belum jelas mau jadi apa.. Tapi yang jelas tidak mau jauh-jauh dari sana.

Yang jelas, saya senang menjadi jurnalis kampus, saya bangga menjadi jurnalis kampus. Mungkin banyak yang memandang sebelah mata pilihan ini, mungkin banyak yang memilih 'profesi' yang dianggap lebih penting dan bergengsi di kampus daripada ini. Tapi justru itu yang membuat saya senang.

Jadi jurnalis kampus itu... Anti-mainstream banget men!!

Hehehe.


Itu yang saya dapatkan dan bisa saya bagi setelah saya bergabung dengan LPM dan menjadi jurnalis kampus. Semoga bermanfaat dan sedikit bisa membuka mata teman-teman mengenai apa itu jurnalisme kampus dan apa yang kami kerjakan di sini :)


“You have to be uncomfortable in order to be successful, in some ways. If you stay in your comfort zone! You would never do the things that you need to do.” ― Lights Poxlietner



Minggu, 10 November 2013

Mahasiswa: Masa Dua Sisi

Saya pribadi menganggap 'mahasiswa' itu adalah sebuah masa, bukanlah sebuah profesi, seperti yang tercantum pada kartu tanda penduduk kita.

Masa mahasiswa itu adalah masa dengan dua sisi: yaitu masa yang paling nanggung dan absurd dalam tahapan kehidupan seseorang, tapi sekaligus paling asyik. Mengapa?

Karena di masa inilah kita sudah dianggap sebagai seorang dewasa, sudah ada pada masa di mana kita memulai bertanggungjawab terhadap diri sendiri, mengatur kehidupan kita sendiri (pasti kerasa banget buat teman-teman yang kuliah merantau), dan menolong diri kita sendiri di kala kesulitan. Di masa inilah jati diri dan pola pikir kita mulai terbentuk serta dianggap sudah bisa dijajarkan dengan orang-orang dewasa lainnya. Di masa inilah, kita mulai dianggap 'matang' sebagai manusia.

Namun di sisi lain, pada masa ini pulalah, kita masih memiliki sisa-sisa masa muda kita. Masa inilah, di mana masih dianggap wajar bagi kita untuk nongkrong, hang out, dan gila-gilaan bareng teman-teman kita. Di masa inilah, masih dianggap wajar bagi kita untuk berpesta, tanpa peduli harus melewatkan malam hingga menemui fajar. Di masa inilah, waktu untuk penasaran. Masa inilah, masa untuk mencoba hal apapun yang menciptakan tanda tanya dalam otak kita. Masa dengan waktu yang lebih dari cukup untuk mencari tahu sebanyak mungkin tentang apapun yang ingin kita tahu: tentang diri sendiri, tentang orang lain di sekitar kita, tentang negeri dan pemimpin kita, bahkan tentang masa lalu juga masa depan. Sebanyak mungkin, tentang apapun. 

Di masa inilah, kita bebas mengkritik pemimpin dan penguasa, juga siapapun, tanpa takut - bahkan kadang dianggap pengecut jika hanya diam saja. Di masa ini pulalah kita mulai terbiasa dengan apa yang disebut politik dan mulai memahami hal-hal seperti kebohongan-kebohongan yang dibungkus oleh wibawa, citra, dan janji-janji manis. Di masa inilah, sebanyak-banyaknya sahabat bahkan saudara baru kita dapatkan, keluarga-keluarga baru di luar rumah pun terbentuk, tak ketinggalan pemahaman baru untuk sebuah hal yang esensial dalam kehidupan tiap manusia: cinta. 

Sebuah masa, di mana takut, ragu-ragu, dan khawatir bukan menjadi pilihan.
Masa di mana seharusnya tidak ada kata tanya 'why?' untuk setiap keputusan, melainkan hanyalah 'why not?'

Karena itulah, di masa ini, kehidupan kita gak jauh-jauh dari hal-hal annoying dan absurd dan kompleks seperti tugas numpuk, dosen rese, bokek (terutama di akhir bulan), galau cowok/cewek, konflik organisasi, dan lain-lain. 

Namun, konon katanya, berbagai momen tak terduga, petualangan dan pengalaman baru, tawa dan canda lepas, bahkan siapa diri kita sendiri, paling banyak ditemui di masa ini ketimbang di masa-masa lain dalam kehidupan kita.

Maka itu teman, menurut saya pribadi yang sedang menjalani masa ini, masa yang kurang lebih hanya akan berlangsung selama 4 tahun ini bukanlah masa di mana kita harus buru-buru untuk mengakhiri kehidupan kampus dan segera mengenakan baju seragam dan jadwal kantor yang sama-sama ketatnya, demi kemapanan semata. Kurang lebih 4 tahun ini, mari kita nikmati dan kita gunakan untuk berkenalan dengan diri sendiri dan kehidupan yang sebenarnya -yang katanya keras. 

Namun masa ini jangan pula disalahartikan sebagai waktu untuk berleha-leha semata. Karena selama kita melewati masa ini ada teman baru yang menunggu kita, ia bernama: tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjadi manusia yang matang seutuhnya. Tanggung jawab sebagai manusia yang memiliki peran, dan berkewajiban memberikan sumbangsih bagi masyarakat dan negerinya, bahkan dunia, sesuai peran yang dimilikinya itu.


Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. 
- Soe Hok Gie



Minggu, 06 Oktober 2013

Tentang Kita dan Orang Tua

Di usia saya yang sudah bisa dibilang dewasa, menurut hukum, secara esensi sebenarnya saya merasa saya masih belum dewasa. Bahkan kadang saya menyadari bahwa sikap saya masih seperti anak kecil.

Apa yang tiba-tiba membuat saya nulis begini?

Karena sikap saya yang betul-betul tidak dewasa. Di usia saya yang ke-19 ini, saya masih sering beradu mulut dengan orang tua. Masih sering membantah nasihat mereka. Masih sering bersikap tidak hormat sama mereka. Masih sering tidak mengindahkan permintaan tolong mereka.

Saya menyadari apa yang saya lakukan ini salah. Ini aib, sebetulnya. Namun sayang, saya selalu terlambat menyadari. Saya baru menyadari kesalahan itu selalu setelah saya melakukannya. Saya tidak berpikir ketika akan atau sedang melakukannya. Semuanya hanya tentang ego.

Namun kenapa aib ini justru saya bagi di sini? Kenapa saya membiarkan semua orang tahu?

Bukan karena saya ingin pamer. Bukan karena saya ingin menunjukkan kesalahan-kesalahan yang saya perbuat. Saya mengakui ini terang-terangan karena saya benar-benar mengakui bahwa ini salah, dan saya dengan segenap hati mengakui telah melakukan kesalahan memalukan ini.

Saya kesal pada diri saya sendiri. Sudah berulang kali seperti ini. Saya melawan orang tua, orang tua saya menahan, hingga mencapai batas kesabaran, lalu emosi mereka memuncak dan keadaan berbalik - mereka marah dan saya terdiam. Gantian, saya yang out of words. Saya yang menyesal dan menjadi takut, karena telah membuat mereka marah. Setelah itu saya mengungkapkan penyesalan saya dan berjanji saya akan berubah. Orang tua saya pun mengerti. Namun tetap saja setelah itu saya mengulangi kebodohan saya dan mereka lagi-lagi marah dan saya lagi-lagi menyesal.

Saya menuliskan ini sebagai bentuk nyata keinginan saya bahwa ini harus terjadi yang terakhir kalinya. Tidak boleh ada lagi adu mulut dan persitegangan antara saya dan orang tua saya. Saya seharusnya sudah cukup dewasa untuk memahami ini. Sudah cukup dewasa untuk bergantian dengan orang tua saya - saya lah sekarang yang harus lebih banyak berusaha memahami daripada mereka. Sudah cukup dewasa untuk membicarakan masalah dengan mereka, bukan mengonfrontasikannya. Sudah cukup dewasa untuk lebih bersabar daripada mereka yang bersabar. Sudah cukup dewasa untuk selalu mengingat dan menjalankan hal-hal kecil yang selalu mereka nasihatkan tanpa lelah dan bosan.

Kesalahan klasik yang selalu dilakukan anak seusia saya atau lebih muda - menganggap diri mereka sudah dewasa, sudah tahu segalanya, sudah bisa melakukan semuanya sendiri, dan sudah bukan waktunya untuk bergantung- bahkan sekedar bertanya pada orang tua.

Big NO. Selamanya, selamanya, kita akan selalu membutuhkan orang tua di sisi kita, sampai setua apa pun kita nanti.

Mungkin ada beberapa di antara kalian yang sedang membaca tulisan ini, yang mungkin mengalami hal yang sama, atau melakukan kesalahan yang sama dengan saya. Saya hanya berharap, tulisan saya ini bisa sedikit mengobati perasaan kalian yang terganggu, bahkan terluka, karena masalah-masalah atau konflik yang kalian alami dengan orang tua kalian- dan hari ini menjadi hari terakhir kalian untuk bermasalah dengan orang tua kalian, begitu juga dengan saya. Kemudian seterusnya, hanya akan ada senyum di wajah orang tua kita karena keberhasilan kita, karena kebanggaan, kebahagiaan, serta rasa hormat yang kita beri pada mereka ke depannya.

Terutama bagi kawan-kawan yang seusia dengan saya sekarang. Di usia inilah titik tolak kita.

Ada sebuah kutipan bagus yang sering saya dengar: menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.

Membenci orang tua, marah pada orang tua, protes pada orang tua - terbukti - selalu hanya akan mempersulit diri sendiri.

First your parents, they give you your life, but then they try to give you their life.” ― Chuck Palahniuk



Kamis, 19 September 2013

Ejaan dan Bahasa Baku, Sudah Lupa?

*urgensi tulisan ini saya jelaskan di bagian bawah :)

Kali ini saya bakal bahas tentang ejaan. Ya, ejaan. Bukan ejaan e-j-a-a-n tapi ejaan yang berkaitan dengan bahasa Indonesia baku.

Memang sih, kata-kata di tulisan ini sendiri memang gak baku. Tapi kan saya menyesuaikan dengan waktu, tempat, dan kebutuhan. Tulisan-tulisan di blog saya kan memang bebas, gak resmi, jadi ya gak apa-apa dong pake bahasa santai, sepakat dulu yah?

Yang mau saya bahas adalah kebutuhan akan bahasa baku dalam konteks tulisan resmi, seperti ketika menulis artikel, makalah, dll. Pokoknya yang resmi.

Saya sendiri memang tidak sempurna. Saya juga bukan orang yang berpengalaman dalam bidang kebahasaan atau sastra, saya bukan editor majalah atau guru Bahasa Indonesia, tapi saya hanya seseorang yang berusaha untuk selalu memperhatikan pentingnya menggunakan bahasa baku atau ejaan dengan benar, terutama dalam tulisan-tulisan yang resmi, yang mengharuskan penggunaan bahasa baku. Awalnya saya sih biasa-biasa aja ngeliat kesalahan-kesalahan sepele dalam kebakuan bahasa, tapi lama-lama, entah kenapa saya risih sendiri karena saking sepelenya kesalahan itu tapi banyak orang -entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu- enggan memperhatikannya.

Kesalahan-kesalahan yang sering saya lihat cukup sepele. Misalnya, yang pertama, yang paling bikin mata saya gatel, yaitu tentang perbedaan kata depan dan imbuhan.

Kenapa sih orang begitu susahnya membedakan antara 'di' atau 'ke' sebagai imbuhan dan 'di atau 'ke' sebagai kata depan? Padahal bedanya cuma satu spasi lho. 'Di' atau 'ke' dipisah dengan kata dasar ketika digunakan sebagai kata depan, contoh:
 'di Malang', 'di situ', 'di Amerika', 'di mana'
kelihatan jelas kan spasinya?
Sedangkan, digabung ketika digunakan sebagai imbuhan, contohnya: 'ditangkap', 'dibayar', 'diambil', 'dibuka'
BIG NO NO for 'di buka' atau 'dimana'. 

Fiuh.

Yang kedua, tentang penggunaan istilah asing. Gimana caranya kita tahu dengan jelas kalo itu istilah asing? Ya dengan dimiringkan dong, atau pake huruf kapital. Finance intermediary, tool of social engineering, approach, method, Literary and Culture, dan lain sebagainya, pokoknya yang bukan bahasa Indonesia. Sesulit itukah memiringkan tulisan? Fiuh.
Sekali lagi, entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu. 

Oh iya sedikit sisipan, tidak hanya penggunaan istilah asing, tapi istilah atau nama-nama penting juga judul-judul dalam bahasa Indonesia pun juga harus pakai huruf kapital, contoh: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemerintah Kota Batu, dll. Jangan lupa juga untuk memberi penjelasan atau terjemahan dalam tanda kurung setelah menulis istilah asing, sekalipun mungkin yang baca sudah tahu artinya :)

Yang ketiga, berkaitan dengan ritme kalimat. Saya adalah tipe orang yang ketika menulis, juga membayangkan bagaimana kalau saya jadi orang lain yang membaca tulisan saya. Enak atau enggak dibacanya. Sesepele apapun tulisannya, walaupun, misalnya, cuma 140 karakter. Karena saya selalu senang membaca tulisan dengan ritme yang enak -bayangkan ketika tulisan itu dipake buat ngomong-, saya selalu berusaha membuat ritme tulisan menjadi enak juga.

Ritme tulisan ini berkaitan dengan penggunaan tanda titik dan tanda koma. Mana enak orang baca kalimat kayak gini "maka dari itu metode ini lebihjarang digunakan karena sulit dan membutuhkan waktu lama sehingga yang lebih banyak dipilih adalah metode pertama." Gak ada jeda buat napas. "maka dari itu, metode ini lebih jarang digunakan karena sulit dan membutuhkan waktu lama, sehingga yang lebih banyak dipilih adalah metode pertama." Lebih enak gak sih? Bedanya cuma ada di dua tanda koma lho.

Yang keempat adalah kelengkapan komponen kalimat. *agak berat nih bahasanya
Semua tahu kan kalo sebuah kalimat, yang benar, itu terdiri dari paling tidak atas subjek dan predikat? Ada juga kalimat yang perlu ditambah objek atau keterangan. 
Saya cukup sering menemukan kalimat semacam ini

"Sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi." 

Kalimat itu gak salah kalo dijadikan sebuah tagline atau iklan atau slogan atau jargon, tapi salah jika digunakan dalam  paragraf, apalagi dalam tulisan resmi. 
Kalimat itu bahkan gak bisa dianggap sebuah kalimat jika digunakan dalam paragraf, coba, mana subjeknya? Mana predikatnya? Itu isinya cuma keterangan doang malah.

Seringnya kalimat kayak gitu ketemu di dalam tulisan seperti makalah, ditemukan setelah subjudul. Misalnya gini:
"1. Komputer Tablet
Sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi. Komputer tablet berbentuk kotak. Sistem operasi yang digunakan bisa Android atau Apple... (dst)"
Dijelaskan dulu dong, dengan cara diselipin lagi lah kata 'komputer tablet' itu sebelum 'sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi." Biar tahu, apanya sih yang terobosan baru. Kalo udah gitu, kan subjek kalimatnya jadi 'komputer tablet' dan predikatnya itu jadi 'terobosan baru (dst)' tadi, ya nggak ya nggak?

Yang terakhir, ya tinggal hal-hal yang lebih sederhana tapi banyak disepelekan, seperti penggunaan huruf kapital di awal kalimat, kapan kata hubung harus didahului koma, masalah ekonomi kata (penggunaan kata-kata dengan efisien, tak berbelit-belit tapi tetap mudah dipahami dan nyaman dibaca) dan masih banyak yang lain kalo memang niatnya dikupas satu-satu, hehe.


Sekarang, kenapa sih kok mau repot-repot banget mentingin masalah kebakuan? Bukannya yang penting kalimatnya kebaca dan maksudnya bisa ditangkap?


Menurut saya, penggunaan ejaan yang benar dan bahasa yang baku akan meninggikan kualitas tulisan, karena menunjukkan perhatian yang penuh dari penulisnya terhadap tulisan tersebut. Bahkan, entah kenapa, kalau saya baca sebuah tulisan dengan ejaan yang benar dan bahasa yang baku, buat saya, penulisnya itu akan terlihat semakin 'cerdas'. 

Selain itu, perhatian terhadap ejaan dan bahasa baku juga menunjukkan perhatian kita terhadap bahasa kita, bahasa Indonesia. Dan perhatian terhadapa bahasa Indonesia, menunjukkan pula kecintaan kita terhadap negeri yang indah dan kaya budaya serta bahasa ini, tetapi disatukan oleh satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 

Saya cukup yakin kok, semua hal tentang bahasa baku dan ejaan ini, kita semuanya sudah dapat sejak di bangku sekolah, bahkan di pendidikan dasar :)

Tapi, sekali lagi, tetap sesuai dengan kebutuhan tulisan lho ya.. Yang saya bahas adalah pada konteks tulisan resmi, bukan untuk tulisan-tulisan bebas. Sesuaikan saja dengan waktu dan tempat :)


“The difference between the right word and the almost right word is the difference between lightning and a lightning bug.” 
― Mark TwainThe Wit and Wisdom of Mark Twain


Senin, 09 September 2013

Media Sosial: Apakah Kita Terdidik dan Beradab?

*Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengkritik, tetapi hanya membahas sesuatu yang sedang menjadi 'gejala' di masyarakat, barangkali dapat sedikit mengetuk pikiran kita, dengan harapan membuat semuanya dunia menjadi sedikit lebih baik.

Berbicara mengenai media sosial, saat ini sudah begitu kompleks. Saat ini orang-orang menggunakan media sosial tidak hanya sebagai esensi 'sosial' saja, tetapi berbagai kegiatan pun dilakukan melalui media sosial.


Menurut Wikipedia.org, media sosial yang pertama kali muncul adalah sixdegree.com dan classmates.com di tahun 1995. Kemudian tahun 1999 lahirlah Blogger, situs blogging yang kita cintai ini. Diikuti tahun 2002, Friendster mulai mendunia dan membuat ABG-ABG seperti saya rela nongkrong di warnet berjam-jam hanya untuk mengutak-atik profil, mulai dari mengganti foto, saling berkomentar, menulis status, bahkan pacaran pun lewat Friendster. 2003 lahirlah LinkedIn yang juga berfungsi untuk mencari pekerjaan dan MySpace, jejaring sosial yang dikenal sebagai user friendly, yang paling populer di negara asalnya, Amerika Serikat.


Kemudian datanglah tahun 2004 dan lahirlah Facebook, karya seorang mahasiswa Harvard University yang merupakan buah keisengan, membuatnya menjadi seorang milyarder berkat jejaring sosial yang fenomenal ini. Tahun 2005 menyusul Twitter, jejaring sosial dengan konsep mikroblogging yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal praktis dan memudahkan siapapun untuk berkicau sepuasnya. Lahirlah pula Youtube (2005), tempat berbagi video daring. Kemudian tahun-tahun selanjutnya lahir pula situs-situs lain seperti Instagram (2010), jejaring sosial untuk sharing gambar; Path (2010), jejaring sosial untuk berbagi 'momen', mulai dari gambar, lokasi, pesan, bahkan lagu yang sedang didengarkan juga film yang sedang ditonton; Google+ (2011), dan lain-lain.




Pesatnya perkembangan media sosial
Sumber gambar: blog.socialmaximizer.com


Demikianlah sedikit ulasan mengenai perkembangan dan berbagai macam media sosial yang ada. Kesemuanya pernah menjadi fenomena tersendiri pada masanya, bahkan ada yang masih menjadi fenomena hingga sekarang.


Di zaman digital ini, orang sangat sibuk mengontrol dan memantau media sosial seakan itu menjadi bagian dari hidup mereka, terutama kawula muda. Saat ini, orang cenderung akan dinilai berdasarkan apa yang mereka 'ucapkan' di media sosial, yang mereka bagikan, yang mereka tunjukkan. Bahkan sebelum betul-betul mengenal siapa orang itu sebenarnya. Maka sebaliknya, vice versa, orang pun beramai-ramai membangun citra diri mereka melalui media sosial, dengan berusaha (mungkin) menunjukkan bahwa ia cerdas karena memiliki kata-kata yang baik, ia bagus rupa karena memiliki foto-foto yang bagus, dan lain sebagainya. Tujuan lain yaitu, setelah memiliki citra diri, orang akan berlomba-lomba memiliki banyak follower, teman, atau apalah itu namanya, untuk menunjukkan bahwa mereka diterima dengan baik dalam kelompok mereka.


Orang beramai-ramai mengungkapkan apa yang ia pikirkan di media sosial. Bahkan tidak hanya itu, mereka menunjukkan segala emosi mereka, bahagia, sedih, cinta, bahkan kebencian. Semuanya menjadi lebih mudah karena tinggal mengetik dan tekan 'post', semuanya sudah tersampaikan, tanpa harus bertemu langsung dengan seseorang atau sesuatu yang dituju.


Tak terkecuali saya sendiri.


Karena itu, dewasa ini tak jarang terjadi konflik yang disebabkan sesuatu yang muncul di jejaring sosial. Entah itu status, foto, dan lain sebagainya. Orang begitu mudahnya terpengaruh oleh sesuatu yang muncul di media sosial milik orang-orang terdekatnya, juga milik para public figure. Apa pun yang diposting oleh para public figure, dalam sekejap bisa menjadi berita terhangat.


Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan 'media' sebagai alat, sarana, atau penghubung.

Sesuatu yang mengandung kata-kata 'media' seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat memudahkan, bukan menyulitkan bahkan menciptakan masalah. Begitu pun media sosial. Seharusnya jika digunakan dengan optimal, media sosial dapat mempermudah pergaulan; mendapatkan informasi; mendapat teman (sungguhan) yang baru; serta menyalurkan aspirasi dengan tetap baik, sopan, dan beradab. Sebagai manusia yang terdidik, seharusnya cukup tahu bahwa sesuatu yang mengandung SARA dan urusan pribadi tidak menjadi konsumsi publik di media sosial.

Untuk urusan pribadi ini, haruslah cukup tahu antara si 'pemberi informasi' dan si 'penerima informasi'.


Saat ini media sosial sudah digunakan untuk berbagai hal, mengungkapkan perasaan, canda tawa, berbisnis, promosi event, hingga kampanye bagi para politisi. 


Tidak salah semua itu dilakukan. Apalagi di negeri yang (katanya) demokrasi ini. Namun alangkah baiknya, sekali lagi, sebagai manusia yang terdidik dan beradab, jika kita mengetahui batas-batas untuk 'menyuplai' dunia ini dengan berbagai informasi tentang diri kita, orang-orang terdekat kita, bahkan tentang orang lain.


Alangkah baiknya jika tidak perlu sebuah peraturan tertulis untuk mengetahui sampai batas mana kita dapat berpendapat dan mengungkapkan perasaan tanpa membuat orang lain terganggu. Alangkah baiknya jika kita tidak semudah itu menghakimi seseorang sebelum mengenal orang tersebut, bahkan menghakimi karena apa yang mereka 'taruh' di halaman jejaring sosial mereka.


Jadi, apakah kita terdidik dan beradab?

  
Social media doesn’t create negativity, it uncovers it. - Anonymous

Rabu, 21 Agustus 2013

BERPIKIR, BERMINAT, BERPENDAPAT, BERBEDA

*lagi ada mood nulis nih ya udah sih los aja

Setiap orang di dunia ini oleh kuasa Tuhan diciptakan berbeda-beda satu sama lain. Tidak ada satu manusia pun yang sama dengan manusia yang lain, semirip-miripnya mereka, pasti ada satu titik yang membedakan. Bahkan antara orang tua dan anak. Bahkan kembar identik.

Otak dan hati (konotatif) manusia pun demikian. Manusia yang satu akan memiliki pola pikir dan minat yang berbeda dengan manusia lain, kadang sama, tapi, tidak akan pernah benar-benar sama.

Karena itu, kita tidak dapat memaksakan apa yang kita pikirkan, apa yang kita sukai, apa yang kita pelajari, apa yang kita benci, untuk berlaku sama dengan orang lain. Selama nyawa dan keselamatan siapapun tidak terancam.

Dalam hal ini, saya sebagai kaum muda, untuk tulisan ini akan memberi contoh dengan berpikir sebagai kaum muda.

Contoh, banyak saat ini kaum muda, di mana pun, baik secara langsung di muka umum, atau melalui tulisan, atau melalui jejaring sosial, bahkan melalui obrolan santai, berseru tentang kepedulian mereka terhadap nasib bangsa. Itu tentu saja hal yang sangat baik; karena pertama, demokrasi di negeri kita terbukti tidak mati; kedua, menunjukkan masih banyak kaum muda yang peduli terhadap nasib negeri ini. Bagaimana tindakan mereka atas kepedulian itu? Lain cerita.

Akan tetapi, banyak juga kaum muda yang 'kelihatannya' tidak memikirkan nasib bangsa ini karena 'tidak terlihat' dari pembicaraan atau pun gerak-gerik mereka sehari-hari. Lalu apakah kita berhak menyebut mereka sebagai kaum muda yang tidak peduli akan bangsa ini? Big NO. Kita bahkan tidak memiliki hak untuk menghakimi apapun, siapapun; sebelum benar-benar tahu (ekstrimnya) apa yang telah dilalui oleh orang-orang yang akan kita hakimi.

Peduli terhadap nasib bangsa memang sangat baik, bahkan merupakan kewajiban setiap anak bangsa. Tetapi jika belum siap untuk itu, juga tidak bisa disalahkan.
Selain itu, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kepedulian selain mengutarakannya dengan kata-kata. Dan kita juga tidak berhak untuk memaksakan cara kita agar orang lain melakukan cara yang sama.

Berlaku pula untuk minat. Kita tidak bisa memaksakan minat kita, apa yang kita sukai, kepada orang lain yang tidak memiliki minat sama. Memaksa orang lain menyukai apa yang kita sukai, atau membenci apa yang kita benci, untuk membaca buku yang kita baca, untuk tidak membaca buku yang tidak kita baca, apalagi menganggap orang lain lebih bodoh dari kita karena tidak membaca buku yang kita baca. Uh, please.

Akhirnya berlaku untuk berpendapat. Cara dan media untuk berpendapat sudah sangat beragam di era ini. Apalagi dengan adanya jejaring sosial. Siapa saja bebas menuliskan apa saja tanpa memikirkan nyawa mereka yang akan terancam. Justru pihak yang menekan kebebasan itulah yang akan diancam. Berpendapat tentang apapun (seharusnya) tidak dilarang, caranya yang tidak boleh sembarangan.

Kebebasan berpendapat sama luasnya dengan kebebasan mengkritik. Jadi jika pendapat kita dikritik ya harus berani menerima, jangan tersinggung. Berani berpendapat, berani menghargai pendapat. Berani mengkritik, berani dikritik.

IT'S BEEN A LONG TIME + HAPPY EID MUBARAK

Sudah cukup lama saya gak posting di blog ini ya. Bahkan kayaknya sudah berbulan-bulan, hehe. Ini bukan karena saya sok sibuk atau gimana, tapi karena akhir-akhir ini saya lebih aktif di blog sebelah.

Blog sebelah itu tak lain tak bukan yaitu akun Tumblr saya. Bedanya dengan blog saya yang ini, di blog Tumblr saya isinya lebih banyak postingan yang isinya relatif singkat, yaitu  kebanyakan berupa flash-fiction dan puisi-puisi (yang saya bikin coba-coba sambil latihan). Ya maklumlah, lagi belajar jadi penulis, hehe.

Kalau pengen tahu tulisan-tulisan saya di Tumblr, silahkan buka dan boleh banget follow akun Tumblr ini:


*sengaja dibikin gede-gede linknya

Selain tulisan saya sendiri, banyak juga reblog-reblog dari blog lain di Tumblr. Make yourself comfortable yah. Harap maklum juga kalau tulisan saya masih geje-gejean, hehe.
Kalau ada yang punya akun Tumblr dan mau difollow-back silahkan, dengan senang hati, leave fan message (kalau gak salah gini namanya) atau bahkan follow aja, pasti langsung saya follow-back, hehe (keliatan banget fakir follower),

Blog ini selanjutnya juga akan saya isi dengan repost-repost dari blog Tumblr, dan tentu tulisan-tulisan selanjutnya dari saya.

Oh iya, saya juga mau mengucapkan Selamat Idul Fitri bagi seluruh umat muslim serta mohon maaf lahir dan batin apabila ada di antara tulisan-tulisan saya yang mengganggu atau bahkan menyakiti perasaan sodara-sodara sekalian. *belum telat kan


"Nothing sexier than a girl who writes."

Jumat, 14 Juni 2013

Cuma Nanya

#iseng #sekalikali #intermezzo #takeiteasy #nyantai #cumananya #nooffense #gaadamaksudapaapa

Pacar itu apa sih? Penting ya punya pacar? Siapa sih yang pertama kali memperkenalkan konsep atau kegiatan atau hubungan pacaran ini? 
Kenapa harus pacaran kalo bisa temenan?
Sebenernya apa sih yang bikin kita pengen pacaran?
Apa hanya karena kita bener-bener sayang dan gak mau dia dimiliki orang lain?
Apa karena kita pengen dia cuma ngeliat kita, nganggep kita satu-satunya dan gak ngeliat orang lain?
Apa karena kita memang bener-bener sayang dan pengen ngejaga dia, ngelindungin dia,dan terus ada di deketnya? Dan kita pengen kita yang ngelakuin itu, bukan orang lain?
Apa cuma karena temen-temen kita semuanya pada punya pacar dan kita sendiri yang enggak punya?

Kenapa masih mau tetep pacaran kalo terus-terusan ngeluh kantong kering?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo dianya nyebelin terus? 
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo dianya udah jarang ngerespon?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo dianya udah ogah-ogahan?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo dianya doyan goda-godain orang lain?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo tiap hari juga tetep galau?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo tiap hari curiga?
Kenapa masih mau tetep pacaran kalo rasanya udah abis banget berkorban, abis banget bela-belain, abis banget nungguin, tapi dianya tetep aja gak ngerasa dan malah nyalahin balik?

Kenapa pacaran kalo gengsi?
Gengsi ngomong duluan, gengsi minta maaf duluan, gengsi ngajak ketemuan duluan

Nnnggg... Dan....

Bisa gak sih dua orang: sepasang cowok-cewek; normal; tetap jadi sahabat, murni, sahabat, setelah dua-duanya ngelaluin masa puber?


Cuma nanya :D

"Maybe our girlfriends are our soulmates and guys are just people to have fun with."― Candace BushnellSex and the City

Kamis, 13 Juni 2013

Curhatan Random

-Missed the chance.
But will take it back someday.

-Just because it doesn't happen now,
doesn't mean it will never happen.

-Option: experience or loyalty.
I choose loyalty.

-Ini tantangan sebenarnya.
Mempertahankan pendirian.
Ternyata sangat sulit, tetapi saya bisa :)


-It will come, my moment.
It really will.

-Yang 'mulainya belakangan' belum tentu nantinya gak lebih sukses.

-Wise. Positive. Patient.
Wise. Positive. Patient.
Wise. Positive. Patient.

-Caraku buat sukses gak harus sama dengan caranya orang lain.
Cara orang pada umumnya.
Gak harus kan?

-Calm.
Let it flow.
But if another chance comes, take it.

-Just do what you have to do now, passionately.
Believe it, you'll gain something.

-Semua orang punya kekurangan dan kelebihan dengan kadar yang sama.
Masalahnya cuma mana yang lebih keliatan.

-Nasehatin orang lain emang gampang, ngejalanin sendiri?
Bisa kok :)

-Take a deep breath.

-Bismillah. Bismillah. Bismillah.

-This is the best for now.

-Focus. Focus. Focus.

-Yeah!

-Pasti bisa!


Selasa, 11 Juni 2013

TERJEBAK

Ya, di sini-sini saja aku.
Terjebak.

Walau begitu, di sini nyaman rasanya.
Tapi jika tak keluar, aku bisa mati. 

Terbunuh oleh makhluk ini, 'fantasi' namanya.

Sebenarnya banyak jalan keluar dari sini.
Tapi, mau berdiri dan lari keluar saja aku bingung, mau pilih jalan yang mana.

Aku seharusnya cepat, karena pintu keluar ini semakin lama,
semakin menutup perlahan-lahan. 
Dan ada rintangan di setiap pintu itu, yang bisa juga mematikan.

Tinggal pilih, mati karena diam dan pasrah dibunuh,
atau mati karena berjuang untuk keluar.

Oh iya, 'fantasi' punya teman.
Makhluk yang satu ini memang tak tahu tata krama.
Datang dan pergi selalu tanpa permisi.


Cinta namanya.

Minggu, 02 Juni 2013

PASSION

Sekarang orang dikit-dikit ngomong passion. "Ini kayaknya passion gue nih". "Gue gak ada passion di sini", dll.
Apa sih passion?

Menurut saya, passion itu bisa dibilang alasan kita lahir ke dunia ini. Alasan kita bisa terus hidup. Sesuatu yang kita lakuin di hidup kita. Sesuatu yang bikin kita punya 'peran' di dunia yang random ini. Passion itu bukan sesuatu yang dipaksain. Sesuatu yang keluar aja dari dalem hati. 

Biasanya sih passion itu merujuk kepada suatu bidang tertentu. Passion dalam musik, misalnya. Passion menulis. Passion berbisnis, dan sebagainya. 

Tapi banyak juga orang yang dalam hidupnya akhirnya terjebak dalam sesuatu yang bukan passionnya. Itu bisa terjadi karena tekanan kehidupan itu sendiri yang memaksa dia melakukan sesuatu yang lain untuk bisa bertahan hidup. 

Mungkin ada orang yang mengartikan passion itu sebagai sesuatu yang bisa bikin kita dapet duit, dan 'bertahan hidup' dari situ. 
Kalo buat saya, arti passion sih gak sesempit itu. Seperti yang sudah saya tulis di awal, passion itu alasan kita supaya bisa terus hidup. Hidup dalam arti kita 'masih mau' terus hidup. Gak hanya secara jasmaniah (karena bisa makan, karena ada duit) tapi juga rohaniah.
Jadi, walaupun nantinya profesi yang kita jalani gak sesuai sama passion kita, gak terlalu masalah. Passion kita tetep bisa dilakukan ketika kita luang, ketika kita sumpek sama kerjaan. Passion itulah yang mengembalikan semangat kita ketika sedang down. Passion itulah yang membuat kita terus 'hidup' secara rohaniah.
Jadi menurut saya, passion itu bisa jadi profesi, tapi gak harus.

Terus gimana buat orang-orang yang gak tau apa passionnya?
Setiap orang seharusnya punya bahkan dilahirkan dengan passionnya sendiri-sendiri, tapi yang jadi masalah adalah bisa gak dia nemuin passion itu di dalem dirinya.

Kata seorang sahabat saya, "Passion itu gak bisa ketemu kalo kita diem aja, harus dicari." kemudian dia lanjutin "Tapi, gak usah dibikin beban nyarinya, ngalir aja, nanti pasti ketemu kok."
Itu, asli, bener banget broh.

Passion seharusnya bukan sesuatu yang menjadi beban. Jadi kalo ketika kita nyari passion itu dengan terbebani, ya mulainya aja udah salah :D

Buat yang belum nemu-nemu apa passionnya, yuk jangan nyerah, coba terus. Coba aja semua yang bisa kita lakuin, and have fun with it. Nanti bakal ketemu-ketemu sendiri. Apalagi buat kita-kita yang masih muda. Hidup terlalu singkat buat khawatir sama masa depan, hehe.

Saya sendiri juga belum nemu sesuatu yang jadi passion saya kok, tapi berusaha let it flow dulu aja lah. Bismillah, nanti pasti ketemu kok.

"If there is no passion in your life, then have you really lived? Find your passion, whatever it may be. Become it, and let it become you and you will find great things happen FOR you, TO you and BECAUSE of you.”
– T. Alan Armstrong,
Author and Writer

Kamis, 02 Mei 2013

TREAT THEM RIGHT

Hari ini saya belajar tentang sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sudah dipahami oleh orang seumuran saya. Sesuatu yang akan selalu terjadi dan dialami oleh siapapun di dunia ini.

Bahwa, tak selamanya perlakuan kita terhadap orang lain akan selalu diterima dengan baik, walau sebaik apapun niat kita. Dengan kata lain, kita tidak akan bisa menyenangkan setiap orang. Atau, tidak semua tindakan yang kita anggap benar, akan dianggap benar juga oleh orang lain. 

Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk memahami situasi kita, kondisi kita, masalah yang kita hadapi, dan kepribadian kita. Kitalah yang harusnya selalu mencoba untuk memahami perlakuan kita dari sudut pandang orang yang kita perlakukan. Apakah dia akan senang? Akan merasa dihargai? Atau akan terganggu? Dan lain sebagainya.

Walaupun tidak selamanya hal itu bisa diterapkan. Ada saat-saat tertentu di mana kita juga tidak akan bisa terus-menerus memikirkan tanggapan orang lain atas tindakan kita. Pada saat tertentu kita juga harus bisa bertindak sesuai dengan apa yang kita yakini, dengan catatan keadaan kita terdesak dan membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat. Karena pun orang juga-mungkin-hanya bisa berkomentar, tanpa memahami apa yang sesungguhnya kita alami, bagaimana kondisi kita, jadi tak usah dipikirkanlah komentar-komentar itu, biarkan saja lenyap dimakan oleh waktu.

Kalaupun kita sudah terlanjur membuat orang lain tidak senang, ya mau bagaimana lagi, yang lalu biarlah berlalu. Toh kita juga tidak memiliki itikad buruk. Jadikanlah yang lalu itu sebagai pelajaran, agar selanjutnya tidak terulang lagi hal yang sama. Gunakan pengalaman itu sebagai ukuran, untuk menentukan bagaimana selanjutnya cara kita memperlakukan orang lain, walaupun masih tetap harus disesuaikan dengan masing-masing orang karena tidak setiap orang menginginkan treatment yang sama. Bertindaklah sewajarnya, secukupnya, dan selogisnya. 

Belajar dari kesalahan, jangan sampai diulangi. Keledai pun tidak mau terantuk dua kali.
Selain itu, sabar dan ikhlas. Tuhan selalu bersama kita bahkan di saat kita paling merasa sendirian, diacuhkan, dipojokkan, atau dikucilkan.


“When you find your path, you must not be afraid. You need to have sufficient courage to make mistakes. Disappointment, defeat, and despair are the tools God uses to show us the way.”
― Paulo Coelho, Brida

Minggu, 31 Maret 2013

YOU ARE THE ENEMY OF YOURSELF

Baru-baru ini saya mengalami masalah psikologis *eak lebai*. Sebenarnya gak baru-baru ini juga sih, udah lama, bahkan bisa dibilang ini 'penyakit' saya yang susah banget sembuh.
Apa yang ada di bayangan kalian teman-teman? Apakah menurut kalian saya menderita schizoprenia? Bipolar? Klepto? Atau psikopat? Wkwkwk
Bukan dong, penyakit yg saya maksud ini bukan penyakit seperti itu kok.

Penyakit saya ini adalah, sepele, tapi nyebueliiiiin banget. Saya tuh suka terlalu banyak mikir, tapi bukan mikirin masalah filsafat atau kenegaraan kayak Plato, Aristoteles, dkk wkwk
tapi yang suka saya pikirin itu hal-hal yang gak penting. Bukan gak penting sih, lebih tepatnya gak perlu,  dan gak pada tempatnya dipikirin. Pikiran yg mungkin kalo saya ceritakan ke orang lain, pasti tanggepannya "udahlah gak usah dipikir" "gitu aja kok dipikirin" "udahlah nyante aja"
Gitu deh. Intinya pemikiran-pemikiran yg seharusnya gak usah terlalu dipikir, tapi saya dengan lebainya mikirin. Dengan gejenya. Dengan tidak tepatnya. Udah gitu suka muncul di saat2 yg gak tepat, misalnya pas enak2 mau tidur, enak2 belajar *emang iya belajar?*, enak2 mandi, enak2 boker *eh kalo boker mah gapapa ya kayaknya*, gitu lah.
Mau tau contoh pikirannya kayak apa? Gak usah deh, malu-maluin soalnya, wkwk

Pada suatu waktu, belum lama juga, ada sebuah kebimbangan yang menghantui pikiran saya, yang bener2 saya seriuus banget mikirnya dan akhirnya malah ngeganggu kerjaan saya yg lain dan bikin hari2 saya jd gak nyaman. Nganggur dikit kepikiran. Akhirnya saya memutuskan untuk curhat ke bapak saya. Sampai saya tulis lewat sms saking panjang dan complicatednya pikiran saya waktu itu, hehe :)
Dari sekian puaaanjang sms yg saya kasih ke bapak saya, eh, ternyata nasihat bapak saya cuma simple banget: lawan diri sendiri.
Dan bapak saya tuh juga udah ngasih nasihat ini berkali-kali. Musuh terbesar, terjahat, terbahaya, ya diri kita sendiri. Osama bin laden, tentara yg pake senjata laras panjang, bom molotov, atau keris empu gandring aja masih kalah sama musuh yang satu ini. Suliiiit banget ngalahin diri sendiri. Dan ini memang kelemahan saya dari dulu :(
Contoh yg paling gampang aja: masalah bangun pagi solat subuh. Pagi tuh saya sebenarnya udah bisa bangun karena alarm, tapi rasanya tuh kayak ada yang nahan badan saya. Rasanya tuh seolah-olah kayak si tempat tidur itu ngelonin saya dan ngomong "sayang, udahlah, di luar dingin, di sini aja yuk,lagian masih jam 5 kok" alhasil solat subuh jadi molor sampe jam set6 :(

Jadi menurut bapak saya, percuma, bapak gak bisa ngasih cara apa2, selain saya harus bisa ngelawan diri sendiri. Usaha. Belajar. Latihan.  Tiap ada pikiran kayak gitu, quickly say "f*ck it" "persetan" "alah gak ngurus" "babah a (biarin)" dsb
Dan itu udah mulai saya coba pelan2 :)

So guys, you, are the enemy of yourself. Seringkali muncul dalam bentuk godaan2, amarah, males, galau, nafsu, dll. Jadi mulai sekarang, yang punya masalah yg sama atau hampir sama dengan saya, yuk mari kita sama-sama belajar mengendalikan diri. Belajar untuk melawan. Fight back. Yang masih pada males berangkat kuliah, ayo dong mulai dikurangin. Yang suka nunda-nunda ngerjain tugas demi twitteran, yuk dihilangkan, dsb. Okay? :D





If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle.

-- Sun Tzu






Rabu, 06 Februari 2013

PENTINGNYA FOKUS

Beberapa waktu yang lalu saya sempet mengalami kegelisahan-kegelisahan. Bahkan sekarang pun masih nyisa dikit, hehe.

Kegelisahan saya terpusat pada: mau ke mana saya setelah lulus kuliah? Gimana kalo entar susah nyari kerja? Katanya sekarang dapet kerjaan lebih banyak dari koneksi daripada lamaran? Kalo gitu harus punya banyak kenalan/temen bnyk bgt dong, nah kalo skrg gak punya banyak temen gimana? Gimana kalo ntar waktu saya masih bingung2nya nyari kerja, temen2 saya udah enak2 dan bangga2 sama kerjaannya?
Jujur aja semua pertanyaan2 itu terus bermunculan di kepala saya, saking takutnya saya bernasib sama dengan sarjana2 nganggur lain di bumi pertiwi ini.

Saking galaunya, saya akhirnya curhat sama bapak saya. Btw, bapak saya ini adalah bapak terbhaaaeeek di dunia (semua sih pasti bilang gitu tentang bapaknya sendiri2, biarin :p). Solusi dan comforting words dari bapak saya selalu pas di hati dan membuat saya lega.

Anyway, setelah saya ceritakan semua kegalauan saya ke bapak, beliau hanya bilang: FOKUS. "Stop semua pikiran2 itu. Fokus aja sama kuliahmu sekarang, belajar segiat2nya, dapet nilai sebagus2nya. Apalagi ini masih tahun pertama kuliah. Gak usah keburu2 mikirin itu, nanti jadi ngerusak semua. Wes intinya kamu sekarang belajar, belajar, belajar, kuliah, kuliah, kuliah. Nanti  lak keliatan sendiri gimana, pokoknya gak usah mikir macem2 sekarang."

Wow.

Terus saya juga sempet nanya,"Apa mungkin aku perlu nyoba part-time, biar punya pengalaman gitu? Pengalaman kan biasanya juga diperhatiin di lowongan."
"GAK PERLU. Udahlah tenang aja. Pokoknya kuliah, titik. Fokus."

Double wow.

"Orang-orang yg terbukti sukses di kerjaannya itu adalah orang2 yg 1. Cinta pekerjaannya, 2. Fokus. Kalo udah cinta, kerja gak bakal kerasa kayak kerja, tapi jadi kayak main (bapak saya ngmongnya lebih panjang/beda dikit tapi intinya gitu). Dan fokus, coba bayangin, misal kamu udah kerja, terus kamu liat peluang kerja di tempat lain, kayaknya bagus, terus nyari lagi, ketemu lagi, dst, akhirnya liat aja, nanti kerjaanmu sendiri lak berantakan, soalnya gak fokus," kata bapak saya.

Triple wow.

"Jadi aku sekarang gak usah khawatir ya pak, masalah nanti mau ke mana setelah lulus?"
"Gak perlu. Pokoknya, FOKUS :)"

Yap itulah nasihat dari bapak saya yg sangat mengena di hati dan selalu saya ingat2. Emang sih, kerasa kok dari hal yg sederhana aja, misalnya, ngerjain tugas, tapi sambil main twitter. Padahal kalo ngerjain tugasnya fokus, bisa jadi setengah jam udah selesai. Tapi gara2 disambi main twitter, atau yg lain, misal bbm, nonton tv, atau ngupil, ya pasti gak selesai2. 30 menit bisa jadi 2 jam. What a waste. Apalagi kalo nanti laptop atau kertas tugas kita jadi kotor, gara2 upilnya nempel.
*lalala

Dengan fokus, kerjaan kita jadi cepet beres, lancar, dan dijamin sukses :D

Gak cuma kerjaan aja lho, waktu liburan juga harus fokus liburan, biar bener2 fresh lagi waktu udah masuk sekolah/kuliah/kerja. Main sepuas2nya! Jalan2 sepuas2nya! Belanja sepuas2nya! Main game sepuas2nya! Nonton film sepuas2nya! Spa sepuas2nya! Menipedi sepuas2nya! Mandi kucing sepuas2nya!
Tapi waktu masuk fokus lagi sama kerjaan.... Oke oke ;)
Profesional!

Makanya, alangkah baiknya jika para guru dan dosen tidak memberikan tugas liburan kepada murid/mahasiswanya ^^



LET'S FOCUS, LET'S SUCCEED :)