Minggu, 06 Oktober 2013

Tentang Kita dan Orang Tua

Di usia saya yang sudah bisa dibilang dewasa, menurut hukum, secara esensi sebenarnya saya merasa saya masih belum dewasa. Bahkan kadang saya menyadari bahwa sikap saya masih seperti anak kecil.

Apa yang tiba-tiba membuat saya nulis begini?

Karena sikap saya yang betul-betul tidak dewasa. Di usia saya yang ke-19 ini, saya masih sering beradu mulut dengan orang tua. Masih sering membantah nasihat mereka. Masih sering bersikap tidak hormat sama mereka. Masih sering tidak mengindahkan permintaan tolong mereka.

Saya menyadari apa yang saya lakukan ini salah. Ini aib, sebetulnya. Namun sayang, saya selalu terlambat menyadari. Saya baru menyadari kesalahan itu selalu setelah saya melakukannya. Saya tidak berpikir ketika akan atau sedang melakukannya. Semuanya hanya tentang ego.

Namun kenapa aib ini justru saya bagi di sini? Kenapa saya membiarkan semua orang tahu?

Bukan karena saya ingin pamer. Bukan karena saya ingin menunjukkan kesalahan-kesalahan yang saya perbuat. Saya mengakui ini terang-terangan karena saya benar-benar mengakui bahwa ini salah, dan saya dengan segenap hati mengakui telah melakukan kesalahan memalukan ini.

Saya kesal pada diri saya sendiri. Sudah berulang kali seperti ini. Saya melawan orang tua, orang tua saya menahan, hingga mencapai batas kesabaran, lalu emosi mereka memuncak dan keadaan berbalik - mereka marah dan saya terdiam. Gantian, saya yang out of words. Saya yang menyesal dan menjadi takut, karena telah membuat mereka marah. Setelah itu saya mengungkapkan penyesalan saya dan berjanji saya akan berubah. Orang tua saya pun mengerti. Namun tetap saja setelah itu saya mengulangi kebodohan saya dan mereka lagi-lagi marah dan saya lagi-lagi menyesal.

Saya menuliskan ini sebagai bentuk nyata keinginan saya bahwa ini harus terjadi yang terakhir kalinya. Tidak boleh ada lagi adu mulut dan persitegangan antara saya dan orang tua saya. Saya seharusnya sudah cukup dewasa untuk memahami ini. Sudah cukup dewasa untuk bergantian dengan orang tua saya - saya lah sekarang yang harus lebih banyak berusaha memahami daripada mereka. Sudah cukup dewasa untuk membicarakan masalah dengan mereka, bukan mengonfrontasikannya. Sudah cukup dewasa untuk lebih bersabar daripada mereka yang bersabar. Sudah cukup dewasa untuk selalu mengingat dan menjalankan hal-hal kecil yang selalu mereka nasihatkan tanpa lelah dan bosan.

Kesalahan klasik yang selalu dilakukan anak seusia saya atau lebih muda - menganggap diri mereka sudah dewasa, sudah tahu segalanya, sudah bisa melakukan semuanya sendiri, dan sudah bukan waktunya untuk bergantung- bahkan sekedar bertanya pada orang tua.

Big NO. Selamanya, selamanya, kita akan selalu membutuhkan orang tua di sisi kita, sampai setua apa pun kita nanti.

Mungkin ada beberapa di antara kalian yang sedang membaca tulisan ini, yang mungkin mengalami hal yang sama, atau melakukan kesalahan yang sama dengan saya. Saya hanya berharap, tulisan saya ini bisa sedikit mengobati perasaan kalian yang terganggu, bahkan terluka, karena masalah-masalah atau konflik yang kalian alami dengan orang tua kalian- dan hari ini menjadi hari terakhir kalian untuk bermasalah dengan orang tua kalian, begitu juga dengan saya. Kemudian seterusnya, hanya akan ada senyum di wajah orang tua kita karena keberhasilan kita, karena kebanggaan, kebahagiaan, serta rasa hormat yang kita beri pada mereka ke depannya.

Terutama bagi kawan-kawan yang seusia dengan saya sekarang. Di usia inilah titik tolak kita.

Ada sebuah kutipan bagus yang sering saya dengar: menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.

Membenci orang tua, marah pada orang tua, protes pada orang tua - terbukti - selalu hanya akan mempersulit diri sendiri.

First your parents, they give you your life, but then they try to give you their life.” ― Chuck Palahniuk