Kamis, 19 September 2013

Ejaan dan Bahasa Baku, Sudah Lupa?

*urgensi tulisan ini saya jelaskan di bagian bawah :)

Kali ini saya bakal bahas tentang ejaan. Ya, ejaan. Bukan ejaan e-j-a-a-n tapi ejaan yang berkaitan dengan bahasa Indonesia baku.

Memang sih, kata-kata di tulisan ini sendiri memang gak baku. Tapi kan saya menyesuaikan dengan waktu, tempat, dan kebutuhan. Tulisan-tulisan di blog saya kan memang bebas, gak resmi, jadi ya gak apa-apa dong pake bahasa santai, sepakat dulu yah?

Yang mau saya bahas adalah kebutuhan akan bahasa baku dalam konteks tulisan resmi, seperti ketika menulis artikel, makalah, dll. Pokoknya yang resmi.

Saya sendiri memang tidak sempurna. Saya juga bukan orang yang berpengalaman dalam bidang kebahasaan atau sastra, saya bukan editor majalah atau guru Bahasa Indonesia, tapi saya hanya seseorang yang berusaha untuk selalu memperhatikan pentingnya menggunakan bahasa baku atau ejaan dengan benar, terutama dalam tulisan-tulisan yang resmi, yang mengharuskan penggunaan bahasa baku. Awalnya saya sih biasa-biasa aja ngeliat kesalahan-kesalahan sepele dalam kebakuan bahasa, tapi lama-lama, entah kenapa saya risih sendiri karena saking sepelenya kesalahan itu tapi banyak orang -entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu- enggan memperhatikannya.

Kesalahan-kesalahan yang sering saya lihat cukup sepele. Misalnya, yang pertama, yang paling bikin mata saya gatel, yaitu tentang perbedaan kata depan dan imbuhan.

Kenapa sih orang begitu susahnya membedakan antara 'di' atau 'ke' sebagai imbuhan dan 'di atau 'ke' sebagai kata depan? Padahal bedanya cuma satu spasi lho. 'Di' atau 'ke' dipisah dengan kata dasar ketika digunakan sebagai kata depan, contoh:
 'di Malang', 'di situ', 'di Amerika', 'di mana'
kelihatan jelas kan spasinya?
Sedangkan, digabung ketika digunakan sebagai imbuhan, contohnya: 'ditangkap', 'dibayar', 'diambil', 'dibuka'
BIG NO NO for 'di buka' atau 'dimana'. 

Fiuh.

Yang kedua, tentang penggunaan istilah asing. Gimana caranya kita tahu dengan jelas kalo itu istilah asing? Ya dengan dimiringkan dong, atau pake huruf kapital. Finance intermediary, tool of social engineering, approach, method, Literary and Culture, dan lain sebagainya, pokoknya yang bukan bahasa Indonesia. Sesulit itukah memiringkan tulisan? Fiuh.
Sekali lagi, entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu. 

Oh iya sedikit sisipan, tidak hanya penggunaan istilah asing, tapi istilah atau nama-nama penting juga judul-judul dalam bahasa Indonesia pun juga harus pakai huruf kapital, contoh: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemerintah Kota Batu, dll. Jangan lupa juga untuk memberi penjelasan atau terjemahan dalam tanda kurung setelah menulis istilah asing, sekalipun mungkin yang baca sudah tahu artinya :)

Yang ketiga, berkaitan dengan ritme kalimat. Saya adalah tipe orang yang ketika menulis, juga membayangkan bagaimana kalau saya jadi orang lain yang membaca tulisan saya. Enak atau enggak dibacanya. Sesepele apapun tulisannya, walaupun, misalnya, cuma 140 karakter. Karena saya selalu senang membaca tulisan dengan ritme yang enak -bayangkan ketika tulisan itu dipake buat ngomong-, saya selalu berusaha membuat ritme tulisan menjadi enak juga.

Ritme tulisan ini berkaitan dengan penggunaan tanda titik dan tanda koma. Mana enak orang baca kalimat kayak gini "maka dari itu metode ini lebihjarang digunakan karena sulit dan membutuhkan waktu lama sehingga yang lebih banyak dipilih adalah metode pertama." Gak ada jeda buat napas. "maka dari itu, metode ini lebih jarang digunakan karena sulit dan membutuhkan waktu lama, sehingga yang lebih banyak dipilih adalah metode pertama." Lebih enak gak sih? Bedanya cuma ada di dua tanda koma lho.

Yang keempat adalah kelengkapan komponen kalimat. *agak berat nih bahasanya
Semua tahu kan kalo sebuah kalimat, yang benar, itu terdiri dari paling tidak atas subjek dan predikat? Ada juga kalimat yang perlu ditambah objek atau keterangan. 
Saya cukup sering menemukan kalimat semacam ini

"Sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi." 

Kalimat itu gak salah kalo dijadikan sebuah tagline atau iklan atau slogan atau jargon, tapi salah jika digunakan dalam  paragraf, apalagi dalam tulisan resmi. 
Kalimat itu bahkan gak bisa dianggap sebuah kalimat jika digunakan dalam paragraf, coba, mana subjeknya? Mana predikatnya? Itu isinya cuma keterangan doang malah.

Seringnya kalimat kayak gitu ketemu di dalam tulisan seperti makalah, ditemukan setelah subjudul. Misalnya gini:
"1. Komputer Tablet
Sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi. Komputer tablet berbentuk kotak. Sistem operasi yang digunakan bisa Android atau Apple... (dst)"
Dijelaskan dulu dong, dengan cara diselipin lagi lah kata 'komputer tablet' itu sebelum 'sebuah terobosan baru dalam dunia teknologi." Biar tahu, apanya sih yang terobosan baru. Kalo udah gitu, kan subjek kalimatnya jadi 'komputer tablet' dan predikatnya itu jadi 'terobosan baru (dst)' tadi, ya nggak ya nggak?

Yang terakhir, ya tinggal hal-hal yang lebih sederhana tapi banyak disepelekan, seperti penggunaan huruf kapital di awal kalimat, kapan kata hubung harus didahului koma, masalah ekonomi kata (penggunaan kata-kata dengan efisien, tak berbelit-belit tapi tetap mudah dipahami dan nyaman dibaca) dan masih banyak yang lain kalo memang niatnya dikupas satu-satu, hehe.


Sekarang, kenapa sih kok mau repot-repot banget mentingin masalah kebakuan? Bukannya yang penting kalimatnya kebaca dan maksudnya bisa ditangkap?


Menurut saya, penggunaan ejaan yang benar dan bahasa yang baku akan meninggikan kualitas tulisan, karena menunjukkan perhatian yang penuh dari penulisnya terhadap tulisan tersebut. Bahkan, entah kenapa, kalau saya baca sebuah tulisan dengan ejaan yang benar dan bahasa yang baku, buat saya, penulisnya itu akan terlihat semakin 'cerdas'. 

Selain itu, perhatian terhadap ejaan dan bahasa baku juga menunjukkan perhatian kita terhadap bahasa kita, bahasa Indonesia. Dan perhatian terhadapa bahasa Indonesia, menunjukkan pula kecintaan kita terhadap negeri yang indah dan kaya budaya serta bahasa ini, tetapi disatukan oleh satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 

Saya cukup yakin kok, semua hal tentang bahasa baku dan ejaan ini, kita semuanya sudah dapat sejak di bangku sekolah, bahkan di pendidikan dasar :)

Tapi, sekali lagi, tetap sesuai dengan kebutuhan tulisan lho ya.. Yang saya bahas adalah pada konteks tulisan resmi, bukan untuk tulisan-tulisan bebas. Sesuaikan saja dengan waktu dan tempat :)


“The difference between the right word and the almost right word is the difference between lightning and a lightning bug.” 
― Mark TwainThe Wit and Wisdom of Mark Twain


Senin, 09 September 2013

Media Sosial: Apakah Kita Terdidik dan Beradab?

*Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengkritik, tetapi hanya membahas sesuatu yang sedang menjadi 'gejala' di masyarakat, barangkali dapat sedikit mengetuk pikiran kita, dengan harapan membuat semuanya dunia menjadi sedikit lebih baik.

Berbicara mengenai media sosial, saat ini sudah begitu kompleks. Saat ini orang-orang menggunakan media sosial tidak hanya sebagai esensi 'sosial' saja, tetapi berbagai kegiatan pun dilakukan melalui media sosial.


Menurut Wikipedia.org, media sosial yang pertama kali muncul adalah sixdegree.com dan classmates.com di tahun 1995. Kemudian tahun 1999 lahirlah Blogger, situs blogging yang kita cintai ini. Diikuti tahun 2002, Friendster mulai mendunia dan membuat ABG-ABG seperti saya rela nongkrong di warnet berjam-jam hanya untuk mengutak-atik profil, mulai dari mengganti foto, saling berkomentar, menulis status, bahkan pacaran pun lewat Friendster. 2003 lahirlah LinkedIn yang juga berfungsi untuk mencari pekerjaan dan MySpace, jejaring sosial yang dikenal sebagai user friendly, yang paling populer di negara asalnya, Amerika Serikat.


Kemudian datanglah tahun 2004 dan lahirlah Facebook, karya seorang mahasiswa Harvard University yang merupakan buah keisengan, membuatnya menjadi seorang milyarder berkat jejaring sosial yang fenomenal ini. Tahun 2005 menyusul Twitter, jejaring sosial dengan konsep mikroblogging yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal praktis dan memudahkan siapapun untuk berkicau sepuasnya. Lahirlah pula Youtube (2005), tempat berbagi video daring. Kemudian tahun-tahun selanjutnya lahir pula situs-situs lain seperti Instagram (2010), jejaring sosial untuk sharing gambar; Path (2010), jejaring sosial untuk berbagi 'momen', mulai dari gambar, lokasi, pesan, bahkan lagu yang sedang didengarkan juga film yang sedang ditonton; Google+ (2011), dan lain-lain.




Pesatnya perkembangan media sosial
Sumber gambar: blog.socialmaximizer.com


Demikianlah sedikit ulasan mengenai perkembangan dan berbagai macam media sosial yang ada. Kesemuanya pernah menjadi fenomena tersendiri pada masanya, bahkan ada yang masih menjadi fenomena hingga sekarang.


Di zaman digital ini, orang sangat sibuk mengontrol dan memantau media sosial seakan itu menjadi bagian dari hidup mereka, terutama kawula muda. Saat ini, orang cenderung akan dinilai berdasarkan apa yang mereka 'ucapkan' di media sosial, yang mereka bagikan, yang mereka tunjukkan. Bahkan sebelum betul-betul mengenal siapa orang itu sebenarnya. Maka sebaliknya, vice versa, orang pun beramai-ramai membangun citra diri mereka melalui media sosial, dengan berusaha (mungkin) menunjukkan bahwa ia cerdas karena memiliki kata-kata yang baik, ia bagus rupa karena memiliki foto-foto yang bagus, dan lain sebagainya. Tujuan lain yaitu, setelah memiliki citra diri, orang akan berlomba-lomba memiliki banyak follower, teman, atau apalah itu namanya, untuk menunjukkan bahwa mereka diterima dengan baik dalam kelompok mereka.


Orang beramai-ramai mengungkapkan apa yang ia pikirkan di media sosial. Bahkan tidak hanya itu, mereka menunjukkan segala emosi mereka, bahagia, sedih, cinta, bahkan kebencian. Semuanya menjadi lebih mudah karena tinggal mengetik dan tekan 'post', semuanya sudah tersampaikan, tanpa harus bertemu langsung dengan seseorang atau sesuatu yang dituju.


Tak terkecuali saya sendiri.


Karena itu, dewasa ini tak jarang terjadi konflik yang disebabkan sesuatu yang muncul di jejaring sosial. Entah itu status, foto, dan lain sebagainya. Orang begitu mudahnya terpengaruh oleh sesuatu yang muncul di media sosial milik orang-orang terdekatnya, juga milik para public figure. Apa pun yang diposting oleh para public figure, dalam sekejap bisa menjadi berita terhangat.


Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan 'media' sebagai alat, sarana, atau penghubung.

Sesuatu yang mengandung kata-kata 'media' seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat memudahkan, bukan menyulitkan bahkan menciptakan masalah. Begitu pun media sosial. Seharusnya jika digunakan dengan optimal, media sosial dapat mempermudah pergaulan; mendapatkan informasi; mendapat teman (sungguhan) yang baru; serta menyalurkan aspirasi dengan tetap baik, sopan, dan beradab. Sebagai manusia yang terdidik, seharusnya cukup tahu bahwa sesuatu yang mengandung SARA dan urusan pribadi tidak menjadi konsumsi publik di media sosial.

Untuk urusan pribadi ini, haruslah cukup tahu antara si 'pemberi informasi' dan si 'penerima informasi'.


Saat ini media sosial sudah digunakan untuk berbagai hal, mengungkapkan perasaan, canda tawa, berbisnis, promosi event, hingga kampanye bagi para politisi. 


Tidak salah semua itu dilakukan. Apalagi di negeri yang (katanya) demokrasi ini. Namun alangkah baiknya, sekali lagi, sebagai manusia yang terdidik dan beradab, jika kita mengetahui batas-batas untuk 'menyuplai' dunia ini dengan berbagai informasi tentang diri kita, orang-orang terdekat kita, bahkan tentang orang lain.


Alangkah baiknya jika tidak perlu sebuah peraturan tertulis untuk mengetahui sampai batas mana kita dapat berpendapat dan mengungkapkan perasaan tanpa membuat orang lain terganggu. Alangkah baiknya jika kita tidak semudah itu menghakimi seseorang sebelum mengenal orang tersebut, bahkan menghakimi karena apa yang mereka 'taruh' di halaman jejaring sosial mereka.


Jadi, apakah kita terdidik dan beradab?

  
Social media doesn’t create negativity, it uncovers it. - Anonymous