Di sini
nampak bahwa hukum, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan, tidak selalu adil.
Kadangkala
faktor nasib atau keberuntungan pun ada pengaruhnya. Mungkin saja Corby memang
benar-benar tidak tahu bagaimana bisa ada mariyuana di dalam tasnya, tapi, ia
dan kuasa hukumnya pada akhirnya tidak dapat membuktikan bahwa mariyuana itu
benar-benar bukan miliknya.
Bahkan
disebutkan juga di artikel yang pernah saya baca, Corby menuntut untuk dilakukan
pemeriksaan sidik jari pada narkoba itu kepada Polda Bali, tetapi tidak pernah
dilakukan. Padahal, sudah jelas pemeriksaan DNA melalui sidik jari merupakan cara
paling efektif, bahkan dalam kasus apapun, untuk membuktikan bersalah atau
tidaknya seseorang.
Jika hal itu
memang benar, maka benarlah jika penegakan hukum di Indonesia ini memang cacat.
Cacat abis. Tentu mencurigakan apabila pihak penyidik tidak berkenan untuk
melakukan pemeriksaan DNA dalam kasus tersebut. Tugas penyidik itu membuktikan,
tapi dia tidak mau membuktikan? Apa yang terjadi di sini?
Takut keburu tengsin apa ya... Orang udah ketangkep, tapi ada bukti baru, lepas lagi deh. Batal dong, jadi 'pahlawan'.
Menarik juga
untuk didiskusikan dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi
pembuktian tindak pidana dengan DNA di Indonesia.
Banyak juga
yang bilang.. Kalaupun toh, Corby benar memiliki mariyuana itu. Mariyuana itu
nggak bahaya sebenarnya. Maksudnya nggak sebahanya alkohol, heroin, nggak bikin
OD lah pokoknya. Makanya hukuman buat Corby itu lebay. Katanya gitu.
Dipikir-pikir dengan logika nih ya. Kalaupun Corby memang berniat menyelundupkan narkoba, kenapa dia
sebodoh itu, menaruh mariyuana di dalam tas selancarnya? Bodo banget. Kemudian
ketika ditanya oleh penegak hukum di sini, dia bersikeras itu bukan punya dia.
Ngapain gitu lho? Buat apa? Main-main sama penegak hukum, buang-buang waktu,
pakai beberapa gram mariyuana doang.
Like, seriously? Is she even that stupid?
Kalo tentang
itu sih, mungkin, hukum Indonesianya sendiri yang belum siap untuk menerima
adanya berbagai zat adiktif ini. Sehingga, digeneralisasi bahwa semua zat
adiktif berbahaya di tingkat yang sama dan membahayakan masyarakat di tingkat yang sama pula. Lagi-lagi, ilmu pengetahuan
perlu dikembangkan lebih lanjut untuk kepentingan spesifikasi dan pemberian tingkatan pada berbagai zat yang
dianggap narkoba ini, sehingga jelas mana narkoba yang benar bahaya banget dan
pantas dihukum berat dan mana yang nggak terlalu berat. Kasus Raffi Ahmad sendiri, belum
begitu jelas kan narkobanya.
Terus,
gimana sama sikap Presiden SBY yang memberikan grasi buat Corby? Banyak yang
bilang itu untuk pencitraan doang. Biar kesannya jadi pembela HAM gitu. Tapi, masa’
seorang pemimpin negara lebih memilih melindungi HAM orang asing pengedar
narkoba daripada melindungi warga negaranya? Gitu sih katanya.
Jadi gimana
dong? Kalau menurut saya sih, semuanya kembali kepada bukti. Bukti yang sebenar-benarnya,
hingga memenuhi kebenaran materiil, atau setidaknya mendekati. Bagaimana agar
di Indonesia, sistem pembuktian bisa diterapkan sebaik-baiknya, kerja penyidik,
yang bertugas menemukan bukti pun – penuntut juga sih, diperbaiki kualitasnya. Di
sini ketajaman ‘firasat’ penyidik juga tidak boleh diabaikan dan harus banyak
dilatih, karena kadangkala ‘firasat’ atau gut
inilah yang menuntun mereka ke bukti yang sebenarnya.
Gak tahu lagi ya... Kalau di balik semua ini, ada hal lain yang menjadi latar belakang - misalnya adanya 'kesepakatan' lain antara pemerintah Indonesia dan Australia sehinggga kasus Corby ini 'digunakan' untuk mengalihkan fokus masyarakat. *inget kasusnya Adrian Kiki Ariawan
Lain cerita deh.
Gak tahu lagi ya... Kalau di balik semua ini, ada hal lain yang menjadi latar belakang - misalnya adanya 'kesepakatan' lain antara pemerintah Indonesia dan Australia sehinggga kasus Corby ini 'digunakan' untuk mengalihkan fokus masyarakat. *inget kasusnya Adrian Kiki Ariawan
Lain cerita deh.
Ujung-ujungnya..
Ngomongin sistem deh. Kalau sudah membicarakan sistem, sistem kan mencakup semuanya, jadi.. Kalau merubah sistem, ya semuanya diganti. Peraturannya, orang-orangnya (kualitas penegak hukumnya maksudnya), dan semuanya deh.. Kalo mau ngerubah sistem, ya semuanya dirubah.
Hal ini
membuat saya teringat akan kasus-kasus lain di Indonesia yang tidak ‘tepat
sasaran’, seperti kasus nenek yang mencuri coklat, harus membayarnya dengan
kemerdekaan hidup selama 5 tahun. Kemudian bagaimana dengan koruptor yang mencuri
uang rakyat dan bla.. bla.. bla.. ya kita semua sudah tahu tentang itu.
Belum lagi,
pasca penghukuman. Apakah LP sendiri, yang ditujukan sebagai tempat untuk ‘mencuci
bersih’ para terpidana, agar kembali ke masyarakat menjadi sosok baru yang
tidak membahayakan, adalah tempat yang ‘bersih’? Bagaimana dengan
praktik-praktik kotor yang terjadi di penjara? Penyogokan para petugas, bahkan
sipirnya, kemudian berbagai penyelundupan. Apakah para pengedar narkoba kelas kakap semata-mata
berhenti sama sekali melakukan kejahatannya ketika ia berada di dalam LP? Wow, I don’t think so. Jaringan narkoba itu
tetap berjalan dengan smooth, sementara
the boss, or whoever they call ‘em, mengontrol
semuanya dari balik jeruji. Bagaimana? Tentu dengan bantuan petugas LP juga, ia
bisa melakukan semua itu. Begitu juga dengan praktik kejahatan-kejahatan
lainnya, terutama yang berkaitan dengan sindikat atau jaringan. Belum lagi
pemberian gratifikasi kepada petugas LP untuk berbagai kenyamanan yang bisa
didapat di penjara.
Ngomong-ngomong
hukuman untuk koruptor.. Hmm.
Koruptor dipenjara. 4 tahun, 7 tahun, 12 tahun. Abis itu, keluar dari penjara, duitnya
masih banyak. Masih cukup buat 7 turunan. Belum lagi kalo dipake buat nyogok
hakim, atau kepala LP, biar hukumannya diringankan atau dapat berbagai ‘fasilitas’
di penjara.
Hukuman, seharusnya
membuat seseorang jera, sehingga ia tidak mau melakukan kejahatannya lagi. Tapi
apakah penjara berhasil membuat koruptor merasa demikian? Well...
Koruptor itu
sampah. Apa yang kita lakukan dengan sampah? Sampah itu dibuang, supaya gak
bikin kotor. Atau, didaur ulang, biar gak jadi sampah lagi.
Tapi, mungkinkah
koruptor setelah hanya dikurung selama 4 tahun kemudian dikembalikan lagi ke
masyarakat akan trauma dan bersumpah tidak melakukan kejahatannya lagi? Hmm. I don’t really think so.
Jadi,
koruptor itu ya harusnya dibuang. Dibuang ke tempatnya, gak usah pake balik
lagi ke masyarakat. Asik juga, kalau ngebayangin koruptor disuruh bersih-bersih
jalan raya sambil pake baju yang mencolok banget warnanya, plus semacam name
tag yang tulisannya ‘Halo. Nama saya Prof. Dr. Bambang Begindang, SH, MS, LLM,
Ph.D. Tapi sekarang panggil saya Bambang Koruptor aja’
Eh,
kepanjangan ya, ntar gak cukup name tagnya. Ya udah mungkin gini aja ‘Nama saya
Bambang Begindang dan saya korupsi duit anda 2 Triliun’.
Terus, semua harta hasil korupsinya dirampas negara, semuanya. Keluarganya? Jadi tanggung jawab negara juga dong.
Terus, semua harta hasil korupsinya dirampas negara, semuanya. Keluarganya? Jadi tanggung jawab negara juga dong.
Atau..
semuanya dihukum seumur hidup atau dihukum mati aja sekalian. Kan sampah?
Sampah harus dibuang jauh-jauh, gak boleh dibalikin lagi, biar gak bikin kotor
lagi.
Tapi..
lagi-lagi orang-orang dengan mengatasnamakan HAM menentang pemiskinan dan
hukuman mati. Lucu juga ya. Orang yang sudah terbukti korup, masih
sempet-sempetnya aja HAMnya dibela. Kayaknya HAM ini juga perlu dipikir-pikir
lagi esensinya. Abis orang gampang banget sih membela kepentingannya sendiri
dengan mengatasnamakan HAM. Dikit-dikit HAM. HAMp*t, hehehe. (orang Jawa pasti ngerti)
*ups
Sedih, jika
kita melihat praktik penegakan hukum di negara kita tidak melindungi mereka
yang menjadi korban, namun justru melindungi penjahatnya. The law, protects the culprit, instead of the victim.
Gimana kalo menurut kalian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar